Lima Ratus Aja, Mbak

Dari dulu, saya paling malas ngasi uang ke pengamen. Bahkan pengamen dengan suara paling bagus pun saya masih banyak ngga relanya. Jadi setiap pergi ke Pasar Minggu, pasar dadakan yang hip hanya di hari Minggu itu, saya selalu bawa sangu receh 100 rupiahan. Mau dibilang ngga menghargai usaha yang ngamen ya ga papa, mereka juga ga menghargai saya yang pengen makan dengan tenang.

Dirimu, keganggu ngga kalau lagi makan bareng-bareng sama temen, berapa menit sih, paling ga sampe 30 menit. Trus yang ngamen datang silih berganti setiap 2 menit. Dengan lagu yang genjrengannya mengganggu resonansi yang masuk ke kuping. Yang tampilannya kasar ala anak jalanan, ibu-ibu, dan anak kecil. Saya terganggu.

Belum lagi di rumah. Pintu depan kebuka 5 cm aja uda digarap sama pengamen. Kadang saya biarkan aja, sampai mereka menyingkir dari pintu rumah saya. Saya ngga minta mereka nyanyi, kan? Ngomel silahkan. Dikasih 100 rupiah juga pernah sama Papa saya, dan mereka ngamuk ngomel-ngomel soalnya ngamennya bertujuh. Tapi yang nyanyi satu orang aja >.<

Sekali-sekalinya saya menghargai usaha pengamen adalah saat kopdar sepeda santai bareng BloggerNgalam. Kebetulan ndilalahnya yang ngamen ganteeeeng, bajunya rapi, gitarnya bagus, bersepatu (ga mutlak dinilai) dan suaranya bagus! Bagus sebagus2nya deh untuk sekelas pengamen jalanan. Kalau ngga salah, rombongan kami sampai nanggap dia nyanyi beberapa lagu Jason Mraz. 2 tahun kemudian, dia masuk Indonesia Mencari Bakat di TransTV. Tidak lama, dia berkolaborasi dengan 2 pemusik membentuk grup jazz-beatbox Hoodie Woodie Freaky. Banyak memang yang tidak seberuntung dia, tapi banyak pula pekerjaan lain yang bisa dilakukan selain jadi pengamen.

Sedih memang ngeliat yang ga seberuntung kita. Bisa makan enak di cafe yang kalau dibagikan ke pengamen mungkin bisa deh ngasih 100 an orang. Tapi ya caranya mengamen itu yang ga rela. Perasaan bersalah itu pasti ada saat saya menolak memberikan uang saya ke mereka. Sebagian rejeki saya memang seharusnya milik mereka yang tidak beruntung. Tapi tentu saya salurkan ke lembaga yang tepat.

Sedih. Sebel. Terganggu. Tapi rupanya ngga ngalahin kagetnya saya waktu ditodong di lampu merah semalem sama pengamen kecil sekitar kelas 3 SD. Sepi lampu merah itu. Dia keplok-keplok saja ngga bernyanyi di depan motor saya. Saya lambaikan tangan menolak. Dia menghardik: ‘Lima Ratus Aja, Mbak!’

The hell.. Inflasi juga berlaku ya buat mereka >.<

 

 

2 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *