Jual beli data belakangan ini semakin masif saja. Begitu juga pencurian data identitas seseorang. Masih ada saja akun-akun Instagram yang kena hack diambil alih, begitu juga link-link palsu yang disebar lewat whatsapp. Boleh lah kiranya kita waspada dengan tidak jujur soal data pribadi. Topik ini pernah mencuat ramai di media sosial. Bohong soal data pribadi, nggak apa-apa sih menurut saya.
Topik soal data pribadi itu muncul ketika ada mbak-mbak yang curhat karena merasa terganggu oleh orang-orang baru yang mengajak ngobrol dan bertanya ini itu di kendaraan umum. Beragam response didapat. Salah satunya menceritakan pengalamannya sendiri menjadi ‘banyak karakter’ ketika diajak ngobrol some random people.
Kebanyakan teman-teman perempuan mengiyakan trik tersebut demi keamanan diri masing-masing di perjalanan. Utamanya sih nggak begitu saja menceritakan kerja di mana, alamat rumah di mana, status relationshipnya apa. Cukup mengalir menjawab mengikuti pertanyaan yang diberikan random people tersebut. Kenapa? Sekali lagi demi keamanan diri. Kita tidak tahu random people tersebut punya ketertarikan apa dengan hidup kita. Daripada ketika jujur ternyata ada kecenderungan menjadi stalker?
Duh enggak deh.
Tapi menjadi pribadi yang bisa menjawab dengan random itu tidak mudah. Perlu pengalaman juga. Dan kebiasaan kita adalah menjawab dengan jujur pertanyaan-pertanyaan random tersebut. Benar?
Tenang, saya juga kok. Saya punya kecenderungan menganggap semua orang itu baik. Jadi lebih baik saya nggak pernah memulai pertanyaan juga ke random people lainnya. Kecuali pertanyaan menawarkan bantuan.
“Mau dibantuin foto?”
“Ibu cari apa?”
Gitu-gitu aja kalau melihat orang butuh bantuan. Tapi soal mengisi data diri misal ada yang perlu dokumentasi jualan, saya sih seringnya memakai nomer hp pak suami. Sementara dia kalau ada urusan tentang sesuatu yang berhubungan dengan keluarga, memakai nomer hp saya.
Seperti urusan sekolah anak. Saya, kami sih, tapi SAYA punya ambisi anak saya harus sekolah yang bagus dan dekat rumah. Saya upayakan dengan sepenuh hati, kerja lembur di akhir tahun nggak bisa datang reuni perak SMA, untuk minimal saya penuhi uang pangkalnya. Tahun lalu anak saya nggak bisa masuk, dugaan sih karena usianya masih minim, belum 6 waktu itu. Saking ambisiusnya saya, dengan kuat hati menahannya masuk SD setahun lagi agar bisa masuk sekolah itu.
Akhir tahun lalu saya dan pak suami kembali mendaftarkan nama di sana. Pak suami menuliskan nama dan nomer hp saya. Tapi kok tiada ada panggilan seleksi juga ya. Hati saya sempat menduga seleksi ditunda karena pemilu tahun ini. Tapi kok nggak tenang juga ya.
Kemudian saya bertanya ke kontak yang pernah saya gunakan untuk berkomunikasi soal sekolah. Setelah diusut, ternyata pak suami salah memasukkan nomer hp saya.
Kurang 1 angka.
Kuota siswa sudah penuh.
Dan buyarlah mimpi menyekolahkan anak sulung ke sekolah impian saya. Yang artinya, adiknya pun kehilangan 50% kesempatan mudah untuk sekolah di sana karena ada sibling program.
Jadi pesan saya, bohonglah soal data pribadi di tempat-tempat tidak perlu.
TAPI PERIKSA LAGI APAKAH DATA DIRI SUDAH BENAR TERKAIT MASA DEPANMU.
fak. masih fak fak fak fak fak fak wadefak!
ku juga kadang males nanggapi orang random di jalan yang kepo nanya-nanya. biasanya ku jawab jujur tapi ngga sepsifik.
misal tinggal di mana? ku kasih tau aja area yanh cukup besar, misal nama kelurahan atau maksimal kompleks (walau ini ngeri juga bisa buat profiling).