“Yang terakhir dateng, dapet kamar deket sungai!,” sebuah keputusan yang semena-mena diambil berdasarkan suara terbanyak karena tiga saudara saya sudah sampai semua di Khayangan Resort Jogja. Di hari kecepit nasional Oktober 2020 lalu, kami memang berniat memberi kejutan bagi Papa dan Mama.
Memilih Private Villa Saat Liburan di Masa Pandemi
Pandemi corona sudah berlangsung hampir 8 bulan lamanya waktu itu. Kami berempat sangat menyadari setiap risiko yang mungkin terjadi. Sehingga adik-adik dari Jakarta swab dulu sebelum berangkat, begitu juga kakak yang bekerja sebagai nakes. Alhamdulillah negatif semua.
Memilih akomodasi saat pertemuan rahasia ini pun discreening secara hati-hati. Memilih villa atau hotel yang terbuka, adalah kriteria terpenting soal tempat menginap di Yogyakarta. Tidak perlu instagramable, yang penting aman. Pilihan jatuh pada Khayangan Resort Yogyakarta.
Liburan di Khayangan Resort, Puas Rasanya
Resort ini terletak di ruas menuju Magelang. Kalau ngikuti google maps pasti akan diarahkan untuk lewat jalan Magelang. Tapi bisa ambil shortcut aja lewat Monjali agar mutarnya tidak terlalu jauh.
Sebenarnya posisi resort ini tidak jauh dari keriuhan area Filosofi Kopi dan teman-temannya. Ada beberapa tempat ngopi dan tempat makan hits di ujung jalan gang menuju Khayangan Resort. Tapi kalau sudah masuk kawasan resort, rasanya nggak pengen ke mana-mana.
Bagaimana tidak, masuk ke lokasi aja jalan makadam meski cuma 20 meter. Jalan aspalnya sih ramai, tapi di resort sama sekali tidak terasa keramaian itu. Benar-bener terpencil kayak masuk dunia kayangan.
Hening. Tenang. Sekaligus bikin merinding.
Private Villa Khayangan Resort
Kami memilih private villa yang terpisah dari kawasan villa lainnya. Terdiri dari 4 kamar dengan rumah utama yang besaaarr. Kolam renang privat, beserta halaman yang luas sekali. Setiap tamu disambut gapura dengan kolam ikan bundar di depan. Langsung masuk villa dengan naik tangga.
Di sana sini pohon besar dan rimbun melingkupi wilayah villa kami. Depan villa itu sungai dan sepertinya fasilitas villa lainnya. Kayak ruang makan bersama yang ditutup selama pandemi. Belakang rumah utama ada kolam renang dan 2 kamar di pavilyun terpisah.
Rumah utama dilengkapi teras besar yang diberi kursi-kursi buat selonjoran buat ngobrol. Meja besar juga ada baik yang untuk selonjoran atau untuk meja makan. Jadi semua ruangannya terbuka lebar dengan hawa segar dari halaman.
Nah kamar saya di bawah rumah utama.
Rekonstruksi Kamar Dekat Sungai
Karena berangkat paling telat, masih mampir makan juga di Soto Kadipiro favorit papa, walhasil baru jam 4 saya masuk lokasi. Sementara yang lain sudah dari jam 12an. Saya dan suami digiring ke kamar dekat sungai sambil dibantu bawakan tas dan koper anak-anak.
Literally bikin merinding.
KRIETTT, begitu bunyi pintunya dibuka. Agak susah mendorongnya karena seret kayunya memuai. Begitu masuk kirain langsung kamar. Ternyata lorong dan di ujungnya ada pintu keluar lagi. Sebelum pintu keluar ada ruangan gelap kecil di pojokan. Saya langsung masuk pintu kamar di samping kanan.
Ruang kamarnya besar sih dengan bed ukuran king dan meja buesar di dalam. Ada kamar mandi di pojokan dalam dekat kaki tempat tidur. Di pintunya terpasang lukisan wayang yang dapat dilihat jelas-jelas saat tidur.
Bukan lukisan itu horornya.
Tapi kaca buram sepanjang lorong yang entah kenapa disetting demikian. Jadi kalau keluar dari kamar mandi, saya bisa melihat samar-samar kamar di pojokan, dan siapapun yang melintas di lorong tersebut.
Bajilak. Desainernya pasti punya pertimbangan tersendiri dan itu bukan soal bayangan-bayangan hantu sebangsanya.
Saat rebahan, terlihat lubang-lubang angin di dekat langit-langit ruangan. Terbuka begitu saja. Saya sudah membayangkan nggak akan melek tengah malam biarpun badai mengguncang kota Yogyakarta.
Ketika Jam Tidur Tiba
Jangan membayangkan akan melakukan yang ena-ena, karena saya sedang datang bulan. Which is kayak dalam posisi paling rawan karena jadi gampang merasa yang nggak-nggak. Jam 10 sudah memutuskan masuk kamar, si bocah lanang masih ruwet karena pengen tidur sama embahnya. Tapi kemudian dia menyusul tidur di bawah.
Segala urusan kamar mandi diselesaikan. Pokoknya saya hanya mau bangun pas jam subuh tiba.
Bangsatnya jam 3 pagi mata sudah melek byar-byar dan nggak bisa tidur lagi. Duh saya lagi senang nulis bangsat ini karena beberapa waktu belakangan sering terganggu dengan hal-hal yang nggak nyata.
Kepala saya sembunyikan di bawah bantal. Berusaha nggak mendengarkan suara apa-apa dari luar. Tapi mata tetap nggak bisa merem lagi. Main Gardenscapes tiba-tiba dapat bonus life 3 jam jadi sayang kan mau tidur lagi mending push rank.
Kemudian……………….
Azan subuh terdengar.
Mulai lah suara-suara itu muncul di keheningan.
“Ichal salat dulu jamaah di atas!” Wooozaah kagetnya. Suami pun bangun dan bersiap-siap usai dipanggil Papa. Si bocah wedok terbangun dan ikut ke atas. Saya sama bocah lanang yang nggak terusik suatu apa.
Sampai matahari muncul di ufuk timur. Iya, ngga ada apa-apa kok semalam. Sayanya aja yang ketakutan sendiri. Lalu si bocah bangun dan mengajak berenang bersama sepupunya.
Kolam Renang Private Villa Khayangan Resort
Posisinya memang di tengah-tengah private villa, sehingga menurut kami ya itu fasilitasnya private villa, bukan pengunjung lainnya. Kolamnya hanya sekitar 1,25 meter saja tingginya. Tidak dipisahkan kolam anak dan dewasa, jadi harus diawasi sendiri anak-anak yang mau nyemplung.
Bocah wedok senang sekali main air bareng sepupunya. Bahkan mau nyemplung sendiri di bagian tangga. Sayang saat saya sedang lengah melihat ke arah lain, dia yang berdiri di samping saya tiba-tiba memutuskan untuk melangkah ke anak tangga di bawahnya.
Kecemplung. Kaget. Dan traumanya nggak hilang-hilang sampai sekarang.
Breakfast Khayangan Resort Selama Pandemi
Selesai berenang tentu saja kelaparan. Saya sampai menghabis-habiskan lasagna yang dibawakan keponakan. Yang lainnya bikin mie instan di dapur villa yang lengkap dengan kompor dan kulkas karena sarapan belum juga diantarkan.
Ya, selama pandemi pengunjung villa tidak makan di ruang bersama. Sarapan diantarkan ke masing-masing kamar lengkap dari makanan utama, side dish serta camilan, dalam piring-piring yang diwrap biar aman. Alat makannya juga dipisahkan dengan plastik-plastik sepasang.
Cukup lezat saya rasa. Dan aman tentu saja.
Lepas sarapan yang kesiangan, saya checkout dengan sejuta kenangan. Dari kamar yang menyeramkan, sampai celetukan suami yang bilang sebelum pulang, “Eh lukisannya itu bergerak ya matanya?”
Ancat!
Disclaimer. Post ini dibuat bukan untuk mengajak plesiran saat pandemi. Tadinya mau bikin cerita horor di hotel, tapi jadinya review..
penasaran td jd ngecek traveloka, foto2nya sih bagus, ga tau kalo ternyata seseram itu. Daerah ngaglik aja ya padahal lokasinya
lho baguss, serius. saking ini aku bawa anak bayik2 jd mau foto2 yg proper itu ga nututi. dan horornya ya cuma karena aku di kamar bawah itu doang, hahahaha. aku lagi penakut pula akhir2 ini T_T
nanti takceritain lagi soal terbirit2 ga jadi masuk wahana ghost school di lain post.
wah kayaknya keren. terus alternatif tempat lain yg nuansa mirip kayak ini ada lagi gk neng? rekomendasi yang semacam resort tp rindang kayak d hutan2 gini juga