Hari ibu masih lama. Tapi tiba-tiba sebuah memori dalam hidup terlintas begitu saja. Mendadak saya ingin menuliskannya.
Judul blog post ini saya cuplik dari satu postingan no mention di Instagram seseorang.
“Mimi, Mama, Bunda, atau siapalah panggilanmu di rumah, jangan terlalu sibuk bekerja. Ada anak-anak yang membutuhkan kehadiranmu di rumah. Sempatkan untuk bermain dan mengurusnya.”
Saya lupa lebih panjangnya bagaimana. Seingat saya perempuan itu menyebutkan kalau meskipun sibuk, dia masih sempat menyiapkan sekolah anaknya, menguncir rambutnya, dan so on. Waktu itu saya cuma merasa postingan no mention itu untuk saya karena dia menyebut panggilan Mimi di depan sendiri. Perempuan itu dekat dengan suami saya di tempat kerja.
No, i didn’t shock that day. Saya cuma merasa dia melihat ‘kesibukan’ saya di timeline Instagram yang jarang menampilkan kebersamaan sebuah keluarga. Jarang posting anak dan suami. Nyaris tidak pernah. Hanya saat-saat bareng teman kantor, makan siang, dan posting makan-makan saat ada undangan.
Setahun berselang saya baru tahu alasannya menulis postingan yang akunnya sudah dihapus dia sekarang.
Seseorang yang hanya melihat saya di timeline dan dari sisi yang timpang. Seseorang yang mempercayai omongan teman sampai nggak peduli tabrak saja halangan dan batasan.
It’s not her fault anyway. Kamu sudah bisa membaca makna tersembunyi dari tulisan saya di atas kan?
Saya hanya menyayangkan bahwa seorang perempuan yang terpelajar, dengan pekerjaan yang katanya terhormat, kok bisa semena-sema merendahkan sesama ibu tanpa mencari tahu. Saya memang nggak banyak menuliskan caption soal hati di Instagram, tulisan itu terpampang di sini biar lebih panjang. Dan nggak banyak yang mencari tahu di sini daripada di sana. Padahal saya menuliskan tentang pelakor menggerebek istri di blog ini dan dia nggak pernah menyinggungnya.
Bukan tugas saya pula harus menjelaskan apa yang terjadi di rumah tangga saya, bukan?
Hari ini saya mengingatnya. Menuliskan postingan khusus soal Mimi, Mama, Bunda, yang disebutnya.
Pintar-pintarlah bersosialmedia, pesan saya. Jangan terjebak stigma pada apa yang terpampang di timeline Instagram, Facebook, TikTok, dan lainnya adalah kehidupan nyata. Banyak hal disembunyikan di sana.
Tampak penuh tawa, tapi hatinya tersiksa. Makan enak ini itu, untuk menyembunyikan luka yang tidak perlu dilihat orang lain. Bergandengan, berpelukan, demi konten berhadiah.
Walaupun dari sosial media jugalah saya sering mendapati kenyataan yang menyakitkan, tapi tidak semua orang melakukan hal yang sama. Ada memang yang mengumbar apa adanya, sehingga tidak menyadari yang dipostingnya hanya semu belaka. Ada juga yang sangat pintar mengolah kebahagiaan di wajah tapi tidak di hatinya.
Perempuan memang mudah terbawa suasana. Sekali lagi, bijaklah bersosialmedia.