Besok jam 6 kita melepaskan tukik di pantai ya?
Begitu pesan sebelum kami berangkat tidur dari Pak Junaedi, salah satu ranger dari Pusat Penangkaran Penyu di Sukamade. Buset, setelah melipir pantai semalaman, harus bangun pagi-pagi pula keesokan harinya.
Namun perjuangan bangun pagi-pagi itu tidak sia-sia. Sebelum menuju ke pantai bersama tukik-tukik, saya dan Cathlin menyempatkan diri menengok ruang penetasan telur penyu di samping wisma. Ada ribuan telur penyu di dalam ruangan berukuran 5×4 meter ini menanti kapan terlahir untuk kembali ke lautan.
Mereka cukup beruntung dapat meninggalkan nama di sini karena telah menemukan telur penyu dari penungguan semalam sebelumnya. Biasanya sekali mendapatkan telur dari penyu yang mendarat di pantai Sukamade jumlahnya ribuan karena tidak hanya satu dua saja penyu yang mampir. Sebenarnya kami tidak beruntung bertemu penyu yang bertelur malam tadi. (BACA DI SINI). Namun kami beruntung para ranger menemukan dua sarang penyu yang mendarat di pagi hari dan masih bisa diselamatkan sebelum dimangsa babi hutan.
Jumlahnya cukup banyak untuk dipendam dan menanti ditetaskan. Pak Junaedi mencontohkan bahwa kami harus menggali sedalam 60cm untuk mengubur telur-telur tersebut. Kedalaman tersebut dinilai ‘ideal’ bagi telur penyu dalam mendapatkan nutrisi dari ‘pasir’ untuk menyamai kondisi asli di pinggir pantai di mana ibu penyu biasanya menggali lebih dari 1 meter untuk mengubur telurnya.
Setiap selesai mengubur telur penyu, kami mendapat tanda mata berupa nama yang dipasang di papan penanda. Mas Hartono, guide kami berjanji akan melihat kondisi telur tersebut sebulan ke depan saat kembali ke Sukamade. How lovely!
Selesai mengubur telur-telur penyu, perjalanan belum berakhir. Kembali langkah-langkah ini menapaki jalan menembus hutan menuju pinggir pantai Sukamade. Terlihat di kanan kiri hijaunya pepohonan sungguh menentramkan. Berbeda dengan saat melintasinya di malam hari yang terlihat menyeramkan.
Pak Djunaedi bercerita panjang kali lebar tentang tukik yang akan kami lepaskan pagi ini. Ada banyak teori yang mengatakan melepas tukik harus begini begitu, dalam keadaan begini begitu. Namun teori tersebut tentu berbeda ketika berhadapan langsung dengan tukik yang dipegang. Tukik di Sukamade dilepaskan maksimal 7 hari setelah telur menetas. Lebih cepat lebih baik karena tukik harus segera beradaptasi dengan kondisi alamnya di lautan untuk bisa survive hingga 200 tahun ke depan sesuai umur normalnya.
Pada usia tukik hingga 3 bulan ke depan adalah masa-masa ‘lost’ atau hilang tanpa jejak di lautan. Periode tersebut adalah masa tukik menghadapi bahaya dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. Mulai dari telur berhadapan dengan manusia dan babi hutan, masa tukik berhadapan dengan burung elang dan ikan, besar sedikit lagi ia harus kembali berhadapan dengan manusia yang mengincar dagingnya. Sungguh perjuangan yang berat bagi tukik untuk mencapai usia remajanya.
Di Sukamade sendiri kehadiran manusia sudah sangat diminimalisir dengan hanya pengunjung yang berkepentingan yang bisa masuk ke pantai. Namun masih ada hewan liar dan elang yang mengincar ketika kami melepaskan tukik ini di pantai. Sama seperti manusia, ada bagian tubuh tukik yang dilindungi tidak boleh dipegang yaitu bagian perutnya. Sehingga cara memegang yang benar adalah menyentuh pinggir samping tempurungnya. Wajah tukik yang saya lepaskan lucu ya…
Tidak ada waktu ideal untuk melepas tukik. Pak Junaedi menjelaskan, manusia harus bisa menjaga rantai makanan yang ada di mana tukik sendiri meski dilindungi pada kiprahnya adalah makanan dari hewan lainnya. Untuk menjaga rantai makanan tersebut, tukik tidak hanya dilepaskan pada pagi hari, pada siang hari, sore, bahkan juga malam hari pun sebaiknya dilakukan. Asal dilakukan tidak lebih dari 7 hari setelah menetas.
Rasanya jadi tega ngga tega ya.
Saya sempat mengusir elang yang mengincar perjalanan tukik menuju garis ombak. Tukik dilepaskan sekitar 7 meter sebelum garis ombak agar bisa merekam pemandangan alam tempat ia dilepaskan, karena ia akan kembali lagi ke sini setelah beranjak dewasa sekitar 60-80 tahun kemudian. Inilah kehebatan indera pengingat tukik yang tidak melupakan tempat di mana dia dilahirkan.
Sebelum pergi dari Sukamade, kami melihat 2 jejak ibu penyu yang semalam tidak kami temui di sini. 2 ibu penyu ini memutuskan untuk datang pagi-pagi sebelum kami bangun agar tidak mengganggu jam tidur. Lihat betapa dalamnya lubang yang digali ibu penyu di sana itu bukan?
Bayangkan kami harus meraba-raba pasir pantai demi tidak terjerembab di lubang tersebut semalamaman. Gagal sih, karena bukan hanya sekali dua, hampir lah 10 kali ada. Sekalinya lagi saat kejeblos, ada seekor ibu penyu yang sedang berjalan di samping lubang itu. Seruuu… dan menyenangkan sekali melihat proses alam yang menakjubkan ini.
Beginilah seharusnya binatang-binatang tersebut hidup. Bebas pulang dan pergi untuk bertelur tanpa takut dimangsa. Bebas untuk menikmati alamnya, hingga masa tuanya kelak 200 tahun kemudian.
Kamu tertarik untuk mempelajari kehidupan penyu di Pusat Penangkaran Penyu Sukamade? Bilang aja sama Mas Hartono di 081934784639, dia akan dengan senang hati membantu kamu mencapai pinggiran pantai Sukamade yang susah disentuh itu.
Wah lucu banget penyunya, bayar nggak Mbak masuk kelokasinya?