Bertamu Ke Rumah Penyu Pantai Sukamade

@cathlinw, si cantik yang baik hati

Perjalanan ini tidak direncanakan sebelumnya. Membaca itinerary perjalanan ke Banyuwangi, ada nama Sukamade di situ. Ditilik dari posisinya, ada di pinggiran selatan Banyuwangi. Digugling dari treknya, ah tidak terlalu berat.

Namun saya kecewa. Perjalanan ke Sukamade ini ternyata memisahkan saya dari gelimang koneksi internet. Dunia tempat eksistensi diri saya berada.

Berangkat dari Surabaya menumpang Wings Air, sebelumnya saya tidak menyangka bandara Banyuwangi sudah dibuka. Bersama Cath, begitu saya memanggil perempuan cilik asli Makasar yang menjadi teman perjalanan ini, Juanda Blimbingsari yang cuma 45 menit saja ditempuh dengan gampang. Disambut guide dari Banyuwangi, mas Hartono dan pak Anas dengan Hiline-nya, kami terhenyak mendengar masih harus 4 – 4,5 jam lagi menuju Sukamade.

Jadi tidak menolak ketika diajak makan siang sebelum berangkat. Baru kemudian Hiline melaju menuju selatan Banyuwangi. Mobilnya kok gini sih pikir saya melihat tambahan AC yang kasar, dan kemriyek bunyi logam beradu setiap menginjak ranjau darat. Namun tidak lama saya dan Cath tertidur juga karena lelah harus bangun pagi-pagi dan menuju bandara.

Sayup-sayup terlihat jajaran pohon dan jalan yang semakin menyempit. Kemudian digantikan oleh jalan yang rusak. Parah. Apesnya lagi koneksi menghilang. Gimana bisa eksis kalau gini! Sampai kebelet pipis dan sama sekali ngga ada Alfamart, Indomaret, atau sekedar masjid untuk berhenti menumpang. Hendak ke mana ini, gerutu saya panjang kali lebar.

Huma di atas bukit?

Hiline tiba-tiba berhenti di pos Taman Nasional Meru Betiri, tempat saya melepas hajat. Btw sebelumnya ada pos lagi, tapi saya lupa pos apa. Di sini pengunjung Taman Nasional Meru Betiri membayar tiket masuk. Jalan di depan……semakin terbayang betapa parah goncangan yang akan kami rasakan.

Memang begitulah adanya. Demikian yang disampaikan mas Hartono. Meskipun melewati sekitar 3 perkebunan, akses jalan masih seadanya. Apalagi jelang masuk gerbang terakhir menuju Sukamade. Jalan benar-benar parah. Bukan juga maksud pemerintah membiarkan kondisi jalan seperti itu, tapi karena kawasan konservasi yang dilindungi jalan dibuat tidak mudah disentuh pengunjung demi melindungi kealamian Sukamade.

Percayalah, saat melewati sejengkal demi sejengkal jalan itu, sumpah serapah tidak akan berhenti.

Jembatannya sih ada, tapi bolong…

Namun begitu melihat samar pantai di kejauhan, serta trek tanpa aspal yang tiada duanya, adrenalin saya pun tergugah. Belum lagi wiper Hiline Pak Anas yang mendadak mati di tengah hujan deras mengguyur itu. Haha, gampang sekali disenengin sama jalur yang ini sayanya.

Saat tiba di Pondok Rafflesia Pusat Konservasi Penyu Sukamade, hujan pun turun dengan derasnya. Saya dan Cath disambut dengan teriakan histeris pengunjung di wisma seberang, ibu-ibu guru muda dari SNA Surabaya. Menyenangkan. Apalagi saat berbincang menanti jam menengok penyu di pinggir pantai Sukamade jelang jam delapan.

Untunglah mendadak cuaca cerah tanpa hujan. Rombongan kami bersama cewek-cewek (bukan ibu guru deh, soalnya rame banget) SNA berjalan beriringan dalam gelap 700 meter ke arah pantai. Lampu senter hanya boleh dinyalakan sampai kami tiba di balik rimbun pepohonan. Masuk ke pantai sama sekali tidak boleh ada penerangan. Bencana memang, apalagi belum terbiasa dan tidak ada cahaya bulan yang mengiringi.

Walhasil ngga cuma sekali ngglundung kejeblos bekas sarang penyu di pinggir pantai yang cukup dalam. Sepanjang pinggir pantai sejauh hampir 3km itu, saya, Cath dan mas Hartono, jatuh bangun mengejar rombongan depan yang jalannya bagaikan melesat. Di tengah kegelapan seperti itulah terlihat gugusan bintang yang bagus banget… tapi ngga bisa diabadikan pakai kamera, huh.

Sejengkal sebelum ujung pantai ditempuh, rombongan sudah duduk santai menanti di mana penyu mendarat dan bertelur. Salah satu penyu yang kami temui dikatakan berumur 80 tahun dengan lingkar tempurungnya yang besar.

Ibu penyu ini mengalami halusinasi karena ia bertindak seolah-olah hendak bertelur tapi ternyata tidak bisa mengeluarkan telurnya. Ah kasihan… Kemudian kami diperbolehkan mengambil gambar tanpa lampu flash dan hanya boleh diambil dari samping dengan bantuan senter. Penyorotan dari depan wajah ibu penyu hanya akan membuatnya terganggu dan kehilangan orientasi menuju air laut kembali.

Perjuangan ibu penyu untuk kembali ke rumah penyu di Sukamade ini memang tidak mudah. Sejak ia ditetaskan dari telurnya, akan ada masa panjang ‘lost era’ yang menentukan keselamatannya sampai dewasa. Baru saja ditelurkan, ia harus sudah berhadapan dengan pemangsa-pemangsa seperti babi hutan, monyet, dan manusia. Saat sudah jadi tukik dan dilepaskan, ia langsung berhadapan dengan elang laut dan ikan besar lainnya. Jika selamat, baru puluhan tahun lagi ia akan kembali ke Sukamade untuk bertelur.

Kecenderungan perkembangbiakan penyu sekarang pun mulai terjadi anomali. Kondisi air laut, pencemaran, dan kurangnya penyu jantan, membuat ibu penyu tidak mudah mendapatkan pasangan. Tidak jarang lebih banyak jumlah penyu betina dibandingkan penyu jantan, sehingga semakin lama ibu penyu akan dibuahi dan kembali ke Sukamade. Di Sukamade sendiri dikenal sebagai rumah penyu hijau dibandingkan 7 spesies penyu lainnya.

Kalaupun ada spesies lain yang mendarat di Sukamade, biasanya ia ikut terbawa arus ibu-ibu penyu yang sedang berjuang untuk bertelur di rumah yang diingatnya saat kecil dulu. Setidaknya spesies penyu belimbing pernah terlihat di sini.

Tidak berapa lama ibu penyu yang kami tunggui bergegas keluar dari sarangnya untuk kembali ke laut. Melihat detik-detik ia menyeret pedal depan dan pedal belakang untuk membawa tempurungnya yang berat, rasanya jadi haru. Sayangnya tangan manusia ngga boleh menyentuh penyu karena dikhawatirkan bakteri dan kuman akan menempel dan mempengaruhi keselamatan ibu penyu.

Sambil mengucap selamat jalan, ibu penyu pun menceburkan diri di laut Sukamade.

4 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *