Appreciation Post to Dear Pak Suami

Kalau biasanya saya menggumam lagu KOP SEKOP SEKOP yang nempel banget di otak, hari ini tiba-tiba saya kepikiran lirik Mendung Tanpo Udan di part ‘Aku moco koran sarungan, Kowe belonjo dasteran..’ milik Ndarboy Genk. Realitanya si dia tidur meluk guling dan saya belanja ke mlijo pakai celana olahraga, setelah maraton berbagi tugas dia pulang kerja mengantar ke sekolah SD, dan saya ke TKnya.

Tengah minggu ini adalah pekan kedua anak-anak kembali ke sekolah di tahun ajaran baru. Kami masih juggling in between karena masa MPLS dan jam sekolah si anak TK masih berubah-ubah. Jam kerja kami masih cukup fleksibel. But I do thanks a lot to their father. Pak suami yang selalu berusaha hadir, selalu ada, dan tanpa nggerundel sedikit pun.

‘Alah itu kan bare minimum seorang ayah. Ya memang harusnya gitu!’. kata netijen soal alm Dali, kamu pasti mengikuti pertikaian soal ayah ini kan?

Suami saya paling banyak menjadi tema curhat di blog ini dan satu blog rahasia yang kayaknya saya lupa passwordnya. Periode tertentu dalam kehidupan berumahtangga kami diisi dengan banyak pertengkaran dan trust issue karena perempuan lain dan kealpaannya menjadi suami dan soon to be bapak. Banyak lubang yang masih tersimpan di ingatan ini. Masa-masa kelam dari awal pernikahan hingga saya nggak tahu tepatnya kapan, hubungan kami berdua (dan berempat) menjadi begitu ringan walau masih ada ngambeg-ngambegan di beberapa sudutnya.

‘I need love to live,’ he said ketika perselingkuhan demi perselingkuhannya saya ketahui. Dan tidak berapa lama dari perkataannya itu, saya balas dengan ‘I need money to live’ ketika saya dekat dengan teman laki-laki karena beberapa projek yang saya kerjakan. Makan tu cinta, saya milih makan dengan melibas lebih banyak pekerjaan mengisi tabungan daripada nangis terus-terusan. Sudah nggak perlu saya malam-malam mencarinya dan meninggalkan bayi-bayi saya. Intinya suatu malam saya sudah siap berpisah dengan menyerahkan anak-anak kepadanya. Kok nyimut lu yang selingkuh gua yang ribet sama anak, menurut saya.

Waktu itu dia meletakkan kembali bayi-bayi kami ke kamar. Menyimpan baju-baju mereka kembali ke lemari. Mengembalikan botol-botol susu ke dapur. Sementara saya masih mengerjakan tulisan yang hanya bisa dipegang ketika sudah sunyi. Kami diam semalaman. Beberapa waktu setelahnya kasusnya mereda walau masih ada kerikil di keset yang tersisa. Hingga, entah saya sudah lama tidak menyalakan radar karena saya nggak peduli lagi.

Satu yang saya ingat, saya memaksa pekerjaannya diubah agar lebih banyak waktu di rumah apalagi anak-anak harus mulai split sekolah. Dulu dia hampir 20 jam di kerjaannya, 4 jam di rumah untuk tidur saja, sementara gajinya ya gitu-gitu aja. 7 hari dalam seminggu hanya sedikit waktu bertemu itu menumbuhkan hal-hal di pekerjaannya yang tidak perlu. Saya memaksa karena saya nggak mau anak-anak besar tanpa sosok bapak di kehidupan mereka.

Saya nggak mau siklus kehidupan suami saya terulang. Saya mau anak-anak saya punya bapak. Saya tahu mama mertua berusaha keras menyempurnakan hidup pak suami. Tapi karena tidak seatap dengan bapak sambung juga, saya merasa dia tidak memiliki sosok bapak yang menjadi panutan untuk bagaimana seharusnya dia menjadi bapak bagi anak-anaknya. Saya mau hidup anak-anak saya hangat dengan diantarkan bapaknya ke sekolah, hadir saat mereka tampil menari, ada saat anak saya belajar naik sepeda. Seperti kehidupan masa kecil saya. Saat bapak motret saya 17an di TK, menjemput hari sabtu di SMP, mengantarkan saya kuliah, atau mengambil cuti ketika saya wisuda.

Sesederhana itu. Se-bare minimum itu.

Tapi saya paham tidak semua laki-laki bisa menjadi bapak. Tidak semua bapak punya contoh dari bapaknya. Hal yang sama juga bisa terjadi pada perempuan. Semua akibat ada sebabnya, tinggal bagaimana kita mau mengubah lebih baik atau diam saja, betul?

Terima kasih ya Pak Suami.

Kamu yang selalu ada untuk anak-anak. Kamu yang nggak perlu diminta untuk memandikan anak-anak. Kamu memang masih perlu diceples untuk bantu angkat jemuran, tapi kamu nggak pernah marah ketika pulang pagi lepas jaga baru merem sebentar sudah dibangunkan untuk menjemput sekolah. Kamu yang mengajak istrimu jalan-jalan sebentar saat anak-anak sudah tidur malam, sekadar melihat keramaian atau beli lalapan karena seharian kerja dan memastikan anak-anak kenyang.

Terima kasih ya Pak Suami, kakak saya sampai bilang ‘Anak-anakmu tu kalau lihat bapaknya pulang kerja kayak ngelihat superheronya datang.’

Panjang umurlah selalu.

2 Comments

  • Aku terharu bacanya …. Tapi juga senang Krn pak suami bisa berubah. (?.? ??? ??? ???.?)

    Setidaknya dia sadar dan bisa memilih prioritas utk keluarganya ??

    Aku sendiri pernah 2x menikah mba. Pernikahan pertama gagal Krn masalah selingkuh juga. Tp saat itu usia kami masih muda mba. Emosi msh tinggi. Harga diri ikutan main. Hahahaha. Jadi aku memilih utk cerai saat tahu dia selingkuh.

    Kalo skr, udah ada anak, usia dah 40an, ntahlah langkah apa yg aku ambil kalo sampe begitu. Amit amit jangan sampe yaa 🙁

    • JANGAN SAMPAI YAA! Mungkin dulu kalau pertikaian pertamaku di usia 20an juga akan milih pisah, hahaha. Seumur hidup itu terlalu lama bukan?
      Semoga kita baik2 sampai selamanya. Aamiin!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *