Pernah nggak ngikutin thread di social media yang complain soal sesuatu? Pernah nggak ngelihat postingan orang di Tiktok, Twitter, FB, Instagram, dan di mana-mana yang menampilkan wajah orang pada satu kasus dan kehidupan orang tersebut didoxing yang maha netizen dengan segala firmannya? Diperas sampai sari-sari hidupnya habis, bahkan pada hal-hal yang tidak terkait dengan kasus yang memviralkan wajahnya. Inilah jahatnya cerita film Budi Pekerti, salah paham yang dimulai dari Asui…
Satu kata itu saja. Buat orang Jawa artinya ‘Ah lama’. Buat yang kupingnya agak-agak telmi terdengar seperti ‘ASUI!’ .. AS*U. Anj**ngi!
Ya udah gitu aja sebenernya.
Tapi kita hidup di era di mana semua orang punya kamera dan semua orang merasa BERHAK menjadi yang pertama menguploadnya di social media. Tanpa peduli siapa orang itu, kenal pun tidak. Posting dan lupakan. Soal kisahnya terblowup dan jadi viral, itu bonus. Senang kan melihat jumlah angka views ribuan sampai jutaan yang pernah mengakses video yang kamu posting?
Saya pernah.
Sekali video yang bintangnya saya sendiri dan didubbing teman seolah-olah sedang mengomentari kamera CCTV di jalan raya. Di Tiktok ditakedown ketika mencapai view 500k karena berpotensi melakukan tindakan berbahaya. Sedangkan saya posting di Instagram mencapai 4,500,000 views.
Senang?
Seru dong setiap hari diserbu notifikasi.
Sampai ketika komennya melebar mengata-ngatai instansi pemerintah yang tidak ada hubungannya dengan video yang saya posting. Tapi bersyukur tidak ada yang mengulik privacy saya lebih jauh lagi dari video tersebut.
Karena itu hanya sebagian kecil dari yang dialami Bu Prani di Budi Pekerti. Dari kesalahpahaman, klarifikasi, dibalas klarifikasi, dikirimkan somasi, dibuatkan dukungan, dibalas dengan teori para ahli, TANPA MENGKLARIFIKASI KEMBALI DARI MANA ASALNYA ISU TERSEBUT MENJADI VIRAL.
Jahat memang pelaku penyebar videonya. Tapi..
Ketika semua merasa berhak berbicara. Bu Prani juga. Lawannya juga. Netizen juga. Pengail click bait adsense yang juga berpestapora. Pelaku jahatnya jadi ada di mana-mana.
Semua berbicara di internet dengan versinya masing-masing. Menimbulkan ribuan persepsi, hingga refleksi menjadi represi.
Di akhir film saya terhenyak.
Emosi saya terkuras habis melihat akhirnya.
Inilah fakta kehidupan kita sekarang ini. Dari secuil isu dan segunung EGO, lalu bicara tanpa kendali. Diposting tanpa introspeksi diri. Tanpa sensor malah dengan bangga mendoxing orang yang membuat keributan.
Akun pelaku diserbu. Akun yang pernah berhubungan sebelumnya dan tidak terkait dengan kasus pelaku, diserbu. Brand-brand yang bekerjasama dengan pelaku, diserbu para netizen dengan berbagai firmannya merasa berhak menghakimi karena dunianya hanya dipisahkan selebar jempol mengetik pesan.
Kenal juga enggak.
Paham konteksnya juga enggak.
Di situlah kekuatan narasi. Siapa yang memposisikan menjadi korban lebih banyak menjadi pemenang.
Tapi.
Tapi….
Bagaimana jika di awal sebelum terjadinya perkara kita belajar bagaimana budi pekerti mengontrol diri kita sendiri?
Saya, kamu, mereka.
Sesuatu yang terlupa.
Jadi, tontonlah film BUDI PEKERTI.