Saya sehat. Sejak tanggal 25 Juni 2021 salah masuk IGD Covid RS Lavalette, saya memantau benar-benar kondisi kesehatan dan baru mengabarkan setelah lewat 14 hari. Saya dan anak yang waktu itu ngga sengaja masuk ke sana, kondisi kami berdua sehat sampai hari ini.
Semuanya dimulai karena anak mengalami DBD dan harus dirawat sesuai rujukan dokter. Jangan takut ke Rumah Sakit Lavalette waktu itu saya menuliskan kronologis kenapa sampai DBD.
Berbekal surat rujukan dari dokter spesialis anak, saya menyiapkan dulu barang-barang anak baru berangkat ke rumah sakit. Menurut saran dari dokter, proses rawat inapnya harus lewat IGD Reguler karena perlu discreening awal sesuai aturan rumah sakit selama pandemi.
Setahun lalu waktu harus ke IGD Lavalette untuk mencabut kuku anak, posisinya di pojok sebelah kanan sendiri. Di samping masjid.
Otomatis otak saya dan badan saya menuju pintu yang sama. Tanpa mencari lagi papan petunjuk IGD Reguler yang harusnya saya tuju.
Memang tidak ada petugas di depan pintu IGD seperti setahun lalu yang menyeleksi orang akan masuk ke IGD. Tapi saya sempat bertanya pada ibu-ibu yang duduk di depan IGD lama. “Kalau mau ke IGD langsung masuk aja?” “Iya bu masuk aja,” katanya.
Di dalam, saya dudukkan anak di meja terdekat. Di depan saya terdapat mesin entah apa. Selambu-selambu merah tertutup melindungi orang-orang yang di dalamnya.
10 detik bengong di meja, keluar orang memakai APD lengkap dengan wajah terisolasi bagian mulut yang ditutupi masker dan mata yang ditutupi goggles. Dia nggak bertanya apa-apa sih.
10 detik.
15 detik.
Kami berpandang-pandangan.
Lalu saya tanya, ini IGD Reguler bukan?
IGD REGULER DI SEBELAH BU! ASTAGFIRULLAH! Orangnya berteriak panik.
Saya jauh lebih panik. SUMPAH SERIUS YA ALLAH KEGOBLOKAN APA LAGI INI.
Anak langsung saya angkat, tas diseret, lari keluar IGD berselambu merah dan segera masuk ke IGD REGULER di sebelahnya. Sambil termenggos-menggos panik, saya berikan surat rujukan dari dokter. Kemudian diarahkan untuk menunggu di ruang pemeriksaan terpisah.
Anak saya letakkan di bed. Kemudian semprot desinfektan sekujur badan saya dan badannya. Cuci tangan berkali-kali lalu mengganti masker saya dan anak. Disemprot desinfektan lalu dimasukkan tas kresek baru dibuang di dekat meja pemeriksaan.
Dalam hati saya mengutuk diri sendiri. Ketika disusul Pipi masuk ke ruangan pemeriksaan, rasanya ingin nangis saja sepanjang menunggu anak diperiksa dan hati jadi deg-degan lebih banyak waktu diswab.
Ya nggak mungkin positif juga kalau detik itu diswab.
Oleh karena itu ketika anak sudah dipindahkan ke ruang perawatan, saya memilih untuk tinggal di rumah sakit saja. Tidak pulang sama sekali demi menjaga orangtua dan bocah perempuan di rumah. Bodo amat sudah si bocah perempuan mencari mamanya sampai njengking-njengking nggak bisa tidur. Kalau pulang kayaknya saya berisiko sekali. Sekalian saja isolasi mandiri di rumah sakit.
Setiap hari saturasi saya cek. Suhu saya catat. 4 hari di rumah sakit tiada gejala yang datang. 14 hari kemudian sama sekali tidak ada gejala di anak, saya, dan Pipinya. DBDnya mereda setelah 7 hari dari gejala pertama. Perlahan-lahan kekuatan tubuh anak kembali prima. Kesehatan saya dan Pipinya tetap terjaga. Syukurlah.
Tidak ada 1 menit di dalam ruang IGD Covid, tapi rasanya kegoblokan unfaedah hari itu akan saya ingat selamanya.
Woalaaaah, untung saja pas virusnya gak lagi coba-coba loncat ke gaga.
nakes ndek IGD Covid itu tadi trus crito apa sama temen-temennya ya…