Nenek moyangku orang pelaut!
Gemar mengarung luas samudera
Menerjang ombak, siapa takut
Menembus badai, sudah biasa
Lagu penuh semangat yang bercerita tentang sejarah nenek moyang bangsa Indonesia ini pernah menjadi lagu pilihan setiap saya bernyanyi di depan kelas saat SD dulu. Puluhan tahun yang penuh kebahagiaan, saya menghabiskan masa kecil yang penuh petualangan. Saya beruntung bisa mencicipi budaya masyarakat pesisir pantai kabupaten Malang. Dari satu pesisir pantai ke pesisir pantai lainnya, satu tempat yang menempa saya menjadi orang yang sangat menghargai fungsi alat transportasi bagi masyarakat di pesisir pantai. Memang bukan dengan sampan seperti foto yang diambil Arfah Aksa dalam Potret Mahakarya Indonesia, namun dengan perahu nelayan bikinan tangan.
Maklum, SD saya berjarak hanya sekitar 5km saja dari bibir pantai Laut Selatan dengan kondisi jalanan yang jauh dari aspal mulus. Menuju pantai lebih nyaman dilakukan dengan berjalan kaki ketimbang naik mobil atau motor. Yang saya ingat tentu kapal-kapal nelayan yang berjuang menembus ganasnya ombak lautan yang menghadap ke Samudera Hindia. Terkadang nelayan-nelayan itu hanya lewat saja di daerah Pantai Ngliyep dekat rumah saya, yang kurang beruntung terdampar di Pantai Pasir Panjangnya. Begitu pula ketika di Pantai Kondang Merak, Bajul Mati, Goa China atau Balekambang, rata-rata perahu nelayan terlihat jauh dari bibir pantai.
Berbeda dengan Pantai Sendang Biru, tempat di mana (rasanya) kapal-kapal nelayan pesisir kabupaten Malang bersandar. Hiruk pikuk pantainya diramaikan oleh kapal pembawa ikan tuna, kerapu, atau sotong, bercampur dengan kapal yang berisi wisatawan hendak menyeberang dan mengelilingi Pulau Sempu. Beberapa kali saya menyeberang ke Pulau Sempu dengan perahu nelayan yang mampu memecah ombak dengan tenang. Sementara seorang teman pernah uji nyali menyewa sampan untuk menyeberang. Nampak jaraknya tidak terlalu jauh dari bibir pantai Sendang Biru, nyatanya?
Nyatanya, jangan abaikan keselamatan diri sendiri bagi yang tidak berpengalaman mengayuh sampan di lautan. Setenang apapun laut yang terbentang di hadapanmu, ada bahaya mengancam bagi yang mengabaikan.
Sekali merengkuh dayung, dua kali merengkuh dayung, sampan bergerak perlahan. Hingga lepas dari bibir pantai, sampai mulai bergoyang dihempas gelombang ombak dari perahu nelayan yang melintas. Arah tujuan mulai samar karena sampan terbawa gelombang. Niat awal ingin melepas penat di sampan menuju pantai putih di seberang, menjadi adegan horor yang tidak terlupakan. Sampan kecil berisi dua orang teman berguncang keras karena gerakan panik setelah dilewati sebuah kapal nelayan. Sementara dari seberang kami semua melihat dengan cemas karena perahu nelayan sewaan sudah meninggalkan kami.
Apalagi sinyal ponsel saat itu masih belum menyentuh area pulau. Bagaimana kami bisa meminta bantuan dari petugas keamanan?
Tidak disangka ketika perahu nelayan berikutnya melintas, mereka melihat tangan-tangan tanpa harapan terombang-ambing dalam sampan di tengah lautan. Segera perahu diberhentikan untuk menarik tali penambat sampan dan menghelanya ke tepian pantai. Kedua nyawa teman terselamatkan dan berakhir pulalah episode horor tidak jadi salah satu adegan Final Destination di Pantai Sendang Biru.
Dari situlah saya semakin respek dengan kehidupan nelayan Sendang Biru penyelamat teman kami. Beberapa kali melihat dari dekat perahu nelayan Sendang Biru yang sederhana, dan kemudian terpana melihat rumitnya struktur kapal nelayan ketika mengunjungi Kepulauan Seribu, mengingatkan saya perbedaan kondisi kelautan yang dihadapi nelayan-nelayan tersebut. Nelayan Sendang Biru harus menghadapi ombak besar dari Samudera Hindia, sedangkan nelayan Kepulauan Seribu cenderung menghadapi lautan yang lebih tenang.
Kapal nelayan Sendang Biru yang berukuran sedang memang tampak sederhana dengan dek kapal yang luas yang bisa digunakan untuk menyimpan ikan dan sekali waktu digunakan untuk mengangkut penumpang. Dilengkapi terpal penutup atap dan bambu penyeimbang. Sedangkan perahu nelayan Kepulauan Seribu ada yang begitu rumit hingga memikirkan di mana ikannya disimpan pun susah. Joran-joran mencuat di kanan kiri kapal. Sedangkan awak kapal memiliki area yang lebih tertutup di ‘kabin’ kapal.
Bagaimana dengan struktur disain perahu nelayan Indonesia di tempat lainnya? Bergeser ke arah barat, perahu ‘slerek’ nelayan di Banyuwangi juga sudah berbeda. Begitu pula yang saya lihat perahu Jakung bermoncong ikan di Bali. Atau ada yang sudah melihat perahu ‘sopean’ atau ‘janggolan’ di Cirebon?
Sungguh, kekayaan alam dan budaya Indonesia memang membuat para disainer kapal nelayan memiliki tradisi masing-masing untuk memecahkan persoalan ganasnya lautan Indonesia yang luasnya tiga kali luas daratan sebagai negara kepulauan. Koleksi bermacam-macam kapal tradisional itu tidak seharusnya punah akibat teknologi perkapalan yang semakin canggih. Dengan suatu kompetisi seperti Potret Mahakarya Indonesia itulah kita diharapkan bisa merekam kegiatan para nelayan dalam bentuk dokumentasi fotografi atau tulisan dan menyebarluaskan kembali ke masyarakat untuk bersama menjaga agar tidak hilang dimakan jaman.