Rumput tetangga selalu lebih hijau dari rumput sendiri.
Terkadang kita selalu melihat tempat yang jauh lebih indah daripada yang di dekat tempat tinggal sendiri. Saya juga gitu, selalu ingin melihat Raja Ampat dengan kesungguhan hati luar biasa berupaya menuju ke sana. Coba lihat sendiri keindahannya, kemudian kalau ditanya mau ngga ke sana gratis dibayarin?
1000 dari 1001 orang pasti bilang: IYA MAUK!
Saya juga super duper mauk. Di lomba blog Pegipegi ini misalnya, 2 postingan ini dan itu, menggambarkan betapa saya ingin sekali menceburkan jempol ke lautan Raja Ampat. Tapi hari ini saya tersadar dengan ucapan Boo saat dia pulang dari jelajah Komodo dua bulan lalu.
Keliling Indonesia lah dulu, baru ditutup ke Raja Ampat. Kalau Raja Ampat dulu, kamu akan merasa tempat lain di Indonesia seindah apa pun dia, ngga ada apa-apanya. ~ @boolixious 2014.
Foto-foto Boo mulai dari memegang tiket pesawat, naik kapal 3 hari keliling pulau Komodo dan baru masuk hotel setelah kulit sudah item kepanggang matahari aja sudah begitu bagusnya. Pengalaman luar biasa dari yang dia dapatkan saat subuh mendaki bukit dan melihat sunrise di ufuk timur Pulau Komodo so amazing. Terus gimana dengan indahnya Raja Ampat?
Ah sudah biasa. Setelah saya renungkan kembali sudah begitu banyak yang mengabadikan keindahan Raja Ampat, dan sahabat saya sendiri sudah mengabadikan keindahan Pulau Komodi. Sementara keindahan daerah sendiri begitu minimnya. Bahkan saya sering kesusahan kalau mau menceritakan keindahan pantai-pantai di Malang Selatan dalam kata-kata.
Lalu, apa kabar garis pantai yang terserak dari batas barat perbatasan Blitar sampai timur antara Malang dan Lumajang di sana itu? Konon kabarnya pantai-pantai eksotik itu saking banyaknya hingga Malang terutama di bagian kabupatennya dijuluki sebagai kota seribu pantai. 2 tahun lalu terakhir kalinya saya menginjakkan kaki di pantai Ngliyep. Salah satu pantai di pesisir Malang yang berjasa membentuk tubuh saya kuat menghadapi penyakit asma, karena selama 5 tahun tinggal di dekat sana hampir setiap minggunya saya jalan 10 km PP ke pantai balik lagi ke komplek. Dari hutannya masih padat dengan pohon tropis bertubuh jangkung sampai sedikit demi sedikit menjadi lahan pertanian.
Padahal kalau warga sekitar memahami pentingnya keutuhan hutan untuk keseimbangan ekosistem, juga bisa dimanfaatkan untuk menarik wisatawan. Coba saja membangun ecolodge di dekat pantai Ngliyep dengan hutan yang masih lebat, bakal bisa jadi pengalaman tersendiri bagi wisatawan. Mereka bisa mempelajari kehidupan binatang-binatang langka yang konon kabarnya ada harimau si raja hutan dan pitik ayam alas yang suaranya melengking indah memecah keheningan. Saya juga cukup senang kalau melihat sekelebat kepakan elang laut dan segerombolan monyet ekor panjang yang mengintip di antara pepohonan.
Warga sekitar Ngliyep memang masih mengingat hubungan mereka dengan kekuatan Nyi Roro Kidul di pantai selatan. Setiap tahunnya mereka masih menggelar Upacara Labuhan, melarung sesajen kepala kerbau, sambil memecut pasir pantai yang konon kabarnya akan memanggil pesuruh Nyi Roro Kidul untuk mengambil sesajen yang dipersembahkan.
Berbeda lagi di pantai lain. Masyarakatnya ternyata masih ada juga yang peduli pada kelangsungan hidup mahluk lain untuk menjaga keseimbangan ekosistemnya. Sebut saja pak Sutari yang memelopori gerakan mengonservasi ribuan penyu di Pantai Bajulmati. Sebelumnya saya mengenal Pantai Bajulmati sebagai pantai berpasir butiran besi yang memiliki ombak besar sehingga tidak aman untuk dijadikan tempat bersenang-senang sambil berenang saat turing yang ini dan yang ini.
Sejak tahun 2010 lalu, pak Sutari tiap hari mengamati penyu-penyu yang dia lepas ke pantai untuk kembali ke alamnya. Tempat konservasinya pun sederhana, hanya bermodal tanah 10×5 meter di belakang rumah, pak Sutari telah melepaskan ribuan tukik ke laut. Mulai dari penyu hijau, penyu abu-abu, penyu sisik dan penyu belimbing.
Ternyata saya ngga perlu jauh-jauh ke Sukamade, Banyuwangi, untuk bisa merasakan nuansa magisnya melepaskan tukik ke laut bebas :). Sekarang misi konservasi pak Sutari dibantu oleh personel Angkatan Laut di Sendangbiru yang berdekatan dengan Pantai Bajulmati untuk menjaga kehidupan penyu tersebut.
Di kawasan Sendangbiru sendiri juga ada pak Saptoyo yang mengembalikan fungsi hutan mangrove di tempat dekat ia tinggal. Upaya konservasi pak Saptoyo sejak tahun 2005 sempat pasang surut dihempas minat masyarakat yang tergerak untuk ikut menjaga kawasan hutan mangrove Pantai Clungup. Resminya pantai ini baru dibuka pada Juli 2014, dan baru sekitar 3000an wisatawan yang datang sampai akhir 2014.
Secara tidak sengaja pak Saptoyo dan Kelompok Masyarakat Pengawas Goal di Pantai Clungup ini telah menerapkan sistem ecotourism dengan menarik tiket masuk dan menggantinya memakai bibit mangrove untuk ditanam pengunjung sendiri di kawasan hutan. Seru ya cerita ecotourism Malang selatan dan pengalamannya para penjaga ekosistem di sana! Kamu bisa membaca kisah-kisah heroik dari pesisir pantai Malang selatan ini di website Radar Malang. Sekilas foto-foto pantai yang pernah datangi seperti ini:
Kisah pak Sutari dan pak Saptoyo ini masih jauh dari sentuhan media daerah lain dan banyak travel blogger kan? Kan? *toyor kepala sendiri*
Oleh karena itu kalau ditanya kamu akan mengajak @amrazing, Blogger Ambassador Pegipegi.com melakukan misi apa di tempat tujuan wisata yang kamu inginkan, apa yang pengen kamu tawarkan, Neng?
Saya? Saya akan mengajak Alex menjelajah pesisir selatan Malang, memetakan pantai-pantai mana yang bisa dikembangkan dan dikelola oleh penduduk sekitar dari sisi ecotourism-nya tanpa merusak kawasan hutan. Bahkan kalau bisa dikembalikan lagi fungsi hutannya agar lebih menarik kedatangan wisatawan yang ingin ikut serta bersama penduduk sekitar menjaga kelangsungan hutan serta keindahan pantainya. Siapa tahu kita akan menemukan lagi pejuang-pejuang ekosistem yang peduli pada kelangsungan hewan langka di pesisir pantai sana. Saya ingin mengenalkan mereka pada dunia, siapa tahu ada yang bisa membantu mencarikan ilmu terapan bagaimana cara mengelola objek wisata yang selaras dengan alam.
Namun, menjelajah 1000 pantai dari perbatasan Blitar sampai Lamongan tentu membutuhkan stamina yang kuat. Ngga jalan kok, Lex. Gila aja gempornya dan mau berapa lama menjelajah pesisir selatan sepanjang itu? Saya berencana mengajak @amrazing naik jeep bareng teman-teman dari Ciliwung Camp atau Kaldera 4×4 yang berulangkali gagal mengajak saya masuk hutan di sana. Ngga usah mikir tenda, makan, bensin, kendaraan, dan peralatan akomodasi itu, Lex. Kalau ingin lebih wild lagi, mari kita naik motor trail combine with jeep. Kamu cukup bawa badan, perlengkapan pribadi, bawa kamera, dan bawalah mata serta sense of nature photography-mu untuk mengabadikan misi pemetaan ini dalam foto.
Followers Lexy di Malang dan Jawa Timur ngga sedikit. Kalau Alex berhasil menaklukkan misi ini, bukan hanya potensi wisata daerah Malang yang terangkat. Namun juga bisa membantu generasi followers Alex untuk mencintai keindahan daerah sendiri dulu, baru melihat daerah lain untuk dijelajahi.
‘Rumput’ kita tidak kalah dari ‘rumput’ pulau tetangga kan? Saya memahami kalau bukan travel blogger dari Malang yang mempromosikan wisata daerahnya sendiri lewat blog, siapa lagi?
Tulisan yg apik dan menarik…memang layak untuk menang.
Selamat mbak artikelnya jadi juara I, HIDUP MALANG!!! hehehe
Syelamaaaattt mbaaa…!!
Have fun bareng @amrazing yaaa
warbiasak, congratulations Mbak! Hihi walopun aku bukan jadi pemenang utama tapi aku seneng banget mba Aik yang menang. happy holiday!