“Lihat nih pantat nih pantat.”
Obrolan di luar jendela kamar membuat saya berdiri bergegas melihat apa yang terjadi di teras depan. BGST. Kedua tamu laki-laki kecil yang main ke rumah siang ini sedang memperagakan adegan spanking dengan celana dipelorotin. Anak perempuan saya berdiri diam di samping mereka. Kakaknya di dalam sedang main hp sesuai jatahnya. Ekspresi anak saya nggak mengatakan apa-apa sampai suara menggelegar saya terdengar.
‘HEH! NGGAK MAIN BUKA-BUKA BAJU DI SINI!
Saya kecolongan!
Sebut saja S, anak perempuan saya langsung berlari memeluk saya di depan pintu kamar. Dia sebenarnya masih belum mengerti juga apa yang dilakukan teman-temannya, dia takut karena mamanya marah-marah. Namun saya benar-benar murka. Kedua anak itu langsung diam membereskan pakaiannya. Sementara saya mau ngusir juga masih belibet kata marah-marah kepada keduanya.
‘Ngga ada main buka-buka baju, mama marah kalau mainnya kayak begini. Ada sepeda, ada lego, ada mobil-mobilan, ngga ada main-main seperti ini lagi kalau masih mau main di sini!’ Saya berusaha memakai nada rendah tapi mengancam tidak lagi teriak seperti tadi. Nggak peduli ini teman sekelas anak saya, dan eyangnya adalah teman ngaji mama saya.
Tidak lama kedua anak ini dijemput oleh eyangnya yang ternyata sudah mencari-cari keliling perumahan nggak ketemu-ketemu juga. Mungkin waktu lewat gang rumah saya, waktu anak-anak ini sedang main di dalam dan pintu ditutup. Padahal ada sepeda keduanya di garasi.
Saya menyesal tidak langsung bilang ke eyangnya.
Karena waktu sore-sore bercerita ke budenya S (yang kebetulan main siang itu), dia juga sudah memperingatkan untuk tidak ngomong yang enggak-enggak. Saya di kamar tidak dengar obrolan anak-anak itu di ruang tv, hanya ada budenya yang menemani. Kedua anak laki-laki itu ngomongin celana dalam anak saya dan menyebut-nyebut me-me*k.
ASTAGA YA TUHAN.
Beruntung budenya sudah mengingatkan mereka juga.
TAPI YA TUHAN SAYA KECOLONGAN!
Dan mereka mengulangi lagi beberapa saat kemudian. Menurutmu saya harus bagaimana?
Saya menyesal nggak langsung menyampaikan ke eyangnya waktu mereka dijemput. Selama ini saya nggak pernah ketemu orangtuanya, atau tidak tau orangtua si anak yang mana kalau antar jemput sekolah. Karena anak saya tidak dekat dengan si anak laki-laki tersebut.
Saya berprinsip membatasi pergaulan dengan orangtua murid lainnya karena ya memang ogah terkait misal ada gosip-gosip tertentu. Saya hanya mengenal 1-2 orangtua murid yang namanya sering disebut anak-anak sebagai temannya di sekolah. Biarlah anak-anak yang sekolah, orangtuanya nggak harus berteman dengan segitu banyak orangtua lagi.
Tapi ternyata saya salah juga.
Hingga masalah pelecehan seksual ini saya bingung mau menjelaskan dengan cara yang bagaimana. Ya kalau keluarga si anak laki-laki itu open mind dan roadmap parentingnya paham soal seksualitas anak. Kalau tersinggung bagaimana? Mungkin akan saya konsultasikan dengan gurunya anak-anak dulu karena bagaimanapun juga mereka mulai berteman dari sekolah.
Akhirnya saya menggrounded anak-anak untuk tidak bermain dengan teman-temannya. Tidak ada sepeda-sepedaan bareng. Tidak ada teman yang main ke rumah dulu. Saya jelaskan lagi soal perbedaan ciri tubuh laki-laki dan perempuan. Saya tambahkan BATASAN MANA YANG BOLEH DILIHAT ORANG LAIN selain mamanya, mbah putrinya, budenya, dan dokter keluarga kami, juga batasan bapak dan kakak laki-lakinya. Bapaknya mewanti-wanti lebih banyak bagaimana dia harus merespon ketika ada orang lain yang melewati batasan itu.
Saya kunci rumah agar mereka nggak main keluar. Saya memilih ngajak anak-anak keluar rumah main di playground saja dulu sebelum mereka masuk lagi ke sekolah dan bertemu lagi dengan temannya yang bermasalah itu.
Super shock sampai detik saya menulis ini. Bapaknya sedang masuk siang hari itu jadi dia tidak mendengar langsung apa yang terjadi. Saya hanya sempat whatsapp ‘nanti aku mau cerita’ sebelum mengurus anak-anak kembali. Wajahnya tidak bisa digambarkan ketika malamnya saya ceritakan semuanya.
I never never never NEVER imagined that such an incident would happen to my daughter in this young age. IN HER HOUSE!
Dalam bayangan saya sebelum dia memasuki masa SDnya, dengan sekolah di dekat rumah, dan jumlah teman yang terbatas karena memang lingkungan sini tidak banyak anak-anaknya, saya masih sempat ngedrill mereka pemahaman soal tubuhnya dan bagaimana berteman dengan sebayanya. How in the world………..
Menurutmu saya harus bagaimana?
Mbaaaa, saya yg baca aja sampe merinding ???. Ga kebayang kalo dj posisi itu. Tapi aku support cara mba yg skr, mending pisahkan anak2 dari teman yg seperti itu. Ngeriiii apa yg terjadi kalo sampe mereka msh dekat.
Itu gimana pendidikan mereka di rumah. apa Krn hanya dengan eyang makanya bablas soal sex parenting. Krn kita tau lah orang tua zaman dulu tabu banget bicara begini. Kalo kita mau laporin ke eyangnya, ntah kenap feelingku si eyang bakal ga terima.
Tapi hrs sih dilaporin ke guru.cuma ntah lah seperti apa tindakan ya nanti.
Yg pasti kalo aku bakal menjauhkan anak dari temen2 begini. Kalo memungkinkan pindah kelas, udah aku pindahin kali. Yg penting ga sekelas Ama yg begitu