Jam kerja saya dan suami ini ada enaknya ada nggak enaknya. Saya cukup teratur 8 jam sehari selama seminggu ditambah piket minggu dan hari besar. Teratur karena bisa dimulai kapan saja karena WFH. Sedangkan suami rolling jam selama 4 hari. Pagi siang malam libur. Jadi ada waktu colongan untuk menghabiskan waktu berdua setiap hari.
Lalu tren curhatan ibu-ibu soal me time sendiri, makan sendiri nggak bilang dan nggak ngajak, karena waktu dan piringnya tidak ingin diganggu anak dan suami, menyeruak di timeline.
Oh mungkin memang anak-anaknya belum masuk usia sekolah. Pikir saya, karena periode anak-anak sampai masuk TK dan punya jam sekolah yang sama juga kami, saya tepatnya, tunggu hampir 7 tahun lamanya.
And it’s boring. Asli. For real. Suami mah kerjanya di luar rumah terus.
Apalagi di antara 7 tahun itu, 4 tahunnya sendiri dilanda pandemi, 2 tahun pandemi yang benar-benar di rumah aja. Kerja dari rumah, 24 jam 7 hari seminggu bersama dua anak balita yang lagi aktif-aktifnya. Beruntung ada mobil jadi masih bisa lah muter-muter kota tanpa harus turun bertemu orang. Kalau nggak gila ya ada gangguan jiwa mungkin, dalam hati saya menyadarinya. Marah-marah pada hal nggak penting itu sudah salah satu tandanya.
Saya jadi sangat paham ketika ada orangtua, terutama ibunya, yang ingin detached sebentar. Melepaskan jangkar-jangkar pemberat di hatinya. Melihat dunia dengan dada yang lebih lapang, sebentar saja. Apalagi kalau ibu di rumah dan juga bekerja.
Jujur, ketika saya ngantor sehari atau janjian wfc bareng teman-teman, itu rasanya LEGA. Ringan banget nggak mikir anak-anak makan apa atau mandi jam berapa dan ngga kudu denger mereka bertengkar. Sebentar saja.
It’s a privilege tinggal dengan orangtua. Anak-anak masih bisa dititipkan ke bapak ibu saya.
It’s a privilege split jam kerja dengan suami. Saya bisa bergantian pergi.
And it’s a privilege too ketika anak-anak masuk sekolah, saya dan suami bisa berduaan lagi.
Walau masih gemes-gemes bergembira kalau saya yang ada acara di luar rumah, saya masih harus nyiapkan stok makan siang sampai makan malam, mikir camilan anak-anak, dan ini dan itu. Sementara kalau suami yang pergi, yada yada tinggal pergi aja. Percaya bener dia kalau istrinya bisa handle dengan baik. Atau cuek aja sebenernya?
Whatever it is, luaskan empatinya ketika ada ibu atau bapak rumah tangga yang mengeluh ingin ‘libur’ sebentar. Kami bukannya nggak bersyukur diberi kepercayaan dari Yang Kuasa untuk merawat anak dibanding pejuang garis dua yang nggak dapat-dapat juga. Kami hanya capek, pengen istirahat sebentar saja. Menemukan diri sendiri lagi. Mempuk-puk pundak di luar rumah, dan bilang you deserve life too. Untuk kemudian berjibaku kembali mengurus anak dan rumah. Dan bekerja.
Itu saja kok.
Beri kami waktu sebentar ya.
agreee sangat ;). aku ga pernah mau judge ibu2 yg mungkin mengeluh krn ga bisa me time.. krn memang ada yg masih seperti itu, susah mnedapatkan waktu sendiri utk me time sebentar saja.. padahal itu perlu.
capeek loh mengurus semuanya sendiri. aku beruntung krn ada babysitter dan asisten yg membantu.. aku bisa ngerasain di saat asisten2ku mudik, di situlah mau ga mau ikutan merasa capeknya melakukan semua kerja rumah termasuj urus anak sendiri.. krn itu ga tega utk menjudge ibu2 yg mengeluh capek..
terkadang mereka ngeluh di sosmed, ya gapapa.. mungkin aja dengan begitu mereka bisa melepas sedikit uneg2nya.. sayangnya masih ada aja orang, bahkan wanita yg mengecam ibu2 begitu.. ntahlah di mana empatinya
yang mengecam itu kadang meluapkan kekecewaannya juga karena dia mengalami hal yg sama. hidupnya kadang sooo bitter than yg ngeluh. aku ya memahami juga tapi ga paham kenapa jempolnya sangat jahat ngomennya.