Sebel. Sebelah saya ketawa-ketiwi mulu. Meskipun tangannya menggenggam sebelah tangan saya, tapi dia tidak bisa menahan diri melihat istrinya bolak-balik menangis. Memang, tidak ada yang salah dari Film Dua Garis Biru, semua penonton bisa menginterpretasikan maknanya sesuai dengan pengalaman hidup yang sudah dilaluinya.
Bagi saya, film ini “seharusnya” membuat “seseorang” berpikir lebih dalam tentang hidupnya.
Saya tahu jalan hidupnya. Saya tahu rahasia terdalamnya yang terbongkar di depan mata. Makanya saya memutuskan untuk menonton film yang genrenya sebenarnya untuk anak remaja kelahiran tahun 2005-an ini. Tapi membuat review Film Dua Garis Biru dengan serampangan juga tidak disarankan.
Film yang bercerita tentang hidupnya Bima dan Dara sepanjang hampir dua jam ini, cukup kompleks. Sekitar sepuluh bulan hidup sepasang remaja dimampatkan hingga dua jam saja, mau bilang terlalu dangkal tapi bisa diambil maknanya. Mau dibilang ‘gila ceritanya dapet banget’ ya nggak gitu juga.
Sekali lagi, kunci menonton Film Dua Garis Biru adalah pada pengalaman hidup masing-masing.
Mengapa bagi saya kompleks? Film ini garis merahnya sederhana. Dua anak remaja, hamil di luar nikah, dinikahkan, lalu memilih berpisah. Sesederhana itu. Yang tidak sederhana adalah bagaimana hidup dua anak remaja itu bukan cuma tentang mereka.
SEHARUSNYA ada bapak ibunya yang bertengkar, ada kakak dan adiknya yang malu sekolah, ada teman sekolahnya yang ngebully, dan ada tetangganya yang nyinyir NJULIDIN SETIAP HARI. Hamil di luar nikah dan bisa melanjutkan hidup sampai anaknya lahir tanpa menghadapi malu dari pandangan orang setiap hari, itu bagaikan mimpi yang bikin kamu tidur lelap sampai pagi.
Jangan dilupakan juga ada anak dari hasil perbuatan mereka.
Masih ingat kan pelajaran tentang MANUSIA ITU MAHLUK SOSIAL. Mungkin dia lahir dari keluarga yang kaya materi, juga ada yang tidak seberuntung itu. Hingga dalam perjalanan hidupnya kadang ada ucapan: AKU INI TIDAK MINTA DILAHIRKAN. No, you can’t say like that. Kamu pasti akan berhadapan dengan ibu yang murka dan bapak yang akan memukulmu seketika.
Mungkin itulah yang akan dihadapi Adam, anak Bima dan Dara, di salah satu episode perjalanan hidupnya nanti. Tapi Film Dua Garis Biru tidak bercerita tentang anaknya. Kembali perlu diingatkan bahwa film ini tentang kecelakaan enak-enak di luar nikah tanpa mengerti ada tanggungjawab besar yang menanti.
Bukan hanya pacar yang posesif karena sudah ditiduri, tapi juga kalau kamu belum mengerti tentang seks yang aman. Hamil dan penyakit seksual menular. Hamil dan melahirkan anak yang sehat? No, di Film Dua Garis Biru kamu akan menemukan sesuatu yang berbeda dari konsekuensi kehamilan di usia dini.
Perdarahan dan kehilangan rahim. Saya berteman dekat dengan seorang perempuan. Kehamilan kami nyaris berbarengan. Saya melahirkan sebulan lebih dulu daripada dia. Saya sehat, anak saya sehat, anak yang dilahirkannya juga sehat. Sayangnya dia mengalami komplikasi persalinan, perdarahan hebat dan rahimnya harus diangkat untuk menyelamatkan nyawanya.
Suatu pilihan yang pasti tidak ingin dihadapi seorang perempuan. Rahim diangkat = tidak bisa punya anak lagi. Sederhana menulisnya, tapi apa iya ada yang bisa berlalu begitu saja seperti Dara yang bisa langsung duduk pasca operasi pengangkatan rahimnya? Maksud saya, scene penutup Film Dua Garis Biru, bisa dibuat lebih dalam lagi menyorot kehampaan yang seharusnya terjadi setelah operasi. Bukannya terus pelukan berpisah dan pergi ke Korea!
Teman saya masih sering terlihat hampa, menghela nafas panjang, dan mengungkapkan irinya karena saya bisa memiliki anak kedua. Terima kasih atas support system-nya yang baik, sehingga dia tidak larut dalam kesedihannya berlama-lama. She’s 34 now. Dan Dara? 17 tahun.
Bukan sebuah punishment yang saya maksud. Tapi penyesalan yang tidak tersampaikan dari Bima dan Dara, atau tentang perkelahian orangtua di balik anak-anaknya yang sedang beranjak meniti kedewasaannya. Ada pesan yang mengambang dan saya jadi menganggap wajar jika yang menonton dengan pengalaman hidup tidak banyak, kemudian menonton Film Dua Garis Biru ini sambil lalu saja. Menganggap hamil di luar nikah bisa jadi hal yang biasa saja, toh orangtua masih sayang, teman-teman masih memperhatikan, dan kamu bisa pergi ke Korea melanjutkan mimpi yang sudah kamu rencanakan.
Kamu juga bisa ketawa sementara di scene yang sama saya ambyar menangis melihat ibu Bima tidak bisa mengungkapkan betapa kecewanya dia dalam kata-kata dengan membanting ulekan gado-gado yang dijualnya.
I feel her. I see myself in this part.
Apakah Film Dua Garis Biru bisa jadi salah satu pilihan cara mengajar sex education untuk generasi yang kepingin nikah-nikah muda aja? Tentu bisa. Sesederhana itu cara mengungkapkan apa saja risiko yang dihadapi mereka nantinya.
Tentang biaya hidup, tentang kesehatan reproduksi masing-masing, tentang tanggung jawab, tentang keluarga besarnya. Daripada berapi-api menjelaskan tentang zina dan lain sebagainya, lebih mudah menjelaskan tentang risiko yang harus dihadapi dalam waktu dekat bagi saya.
Menikah bukan cuma untuk menghindari zina ya. Mati juga bisa dipilih kalau untuk menghindarinya.
Saya memang masih orangtua baru. Belum menikah selama itu untuk bisa menasehati kamu-kamu. Hanya, pengalaman saya sendiri mengatakan menikah dengan orang yang tepat di saat kamu sudah siap, sudah puas dengan pencapaian hidupmu, tetapi di saat masih tetap memiliki ambisi besar untuk mengisi hidup, menikah akan memberi kehidupan yang lebih baik untuk dirimu sendiri.
Kamu akan jauh lebih siap ketika kenyataan hidup berkata lain.
Selepas mengomel panjang kali lebar, sedikit lega rasanya mengungkapkan lubang yang ternyata tetap ada setelah menonton filmnya. Tonton Film Dua Garis Biru sekarang sebelum turun dari bioskop kesayangan. Belajar tentang kesehatan reproduksi dan risiko yang harus dihadapi, tidak pernah seasyik ini kok.
Tapi, seharusnya film ini bisa bercerita lebih banyak lagi tentang kenyataan hidup di sini.
Mantap kaka infonya