Siang itu saya ke SIMA Lab Ciliwung dengan hati yang ringan. Saya yakin, hasil tes lab darah lengkap dan thorax anak lanang baik-baik saja. Sekalian ngambil jaket yang ketinggalan karena kehebohan proses ambil darah si bocah yang menggemparkan lantai 2. Thumbs up untuk tim SIMA Lab Ciliwung yang menyimpankan. Setelah menjemput dan pulang, baru saya buka foto ronsen dan hasil labnya.
Hati saya mencelos.
Parunya bebercak-bercak dengan keterangan suspect positive TB Paru. Deretan angka-angka hasil tes darahnya nilai vitamin D dan zat besinya di bawah normal. Pusing saya langsung membuat janji konsultasi dengan Bude Dokter kesayangan si anak lanang. Untuk lebih tegak diagnosis TB Paru, kami kembali ke SIMA untuk tes Mantoux. Berbagai suplemen Vitamin D dan Zat Besi sudah dikantongin dari apotek Bude Dokter.
Tes Mantoux dan Caranya
Saya tu nggak pernah membayangkan akan melewati fase ini, serius. Saya benar-benar denial dengan BB anak lanang yang stuck dan kurus menjulang, sementara adiknya mengembang. Keduanya punya nafsu makan yang cukup seimbang menurut saya. Berbekal lembar pengantar tes lab darah lengkap, saya memantapkan hati mencentang foto Thorax PA yang hasilnya sudah saya sebutkan di atas.
Biasanya malah tes mantoux dulu sih kalau saya baca-baca bagi yang suspect TB. Saya kebalik dikit prosesnya, tapi marilah meyakinkan diri sendiri. Jam 5.45 sore baru kami (saya, suami, dan 2 petugas lab) berhasil menyelesaikan misi tes ini. Lebih sakit daripada diambil darah kata orang-orang, karena cara tes mantoux sendiri obatnya diinjeksikan ke bawah lapisan kulit. Harus hati-hati agar tidak terlalu dalam dan pas di posisi. Mana bisa dengan anak yang ginjal-ginjal ketakutan.
Si anak lanang sudah gagah berani aku mau jalan sendiri, tapi tidak jua sampai ke tempat duduknya. 10 menit jalan ke tempat duduk, 10 menit menolak tangannya dipegang petugas lab, jadi saya pangku dan dibantu dipegangi untuk prosesnya. Di titik obatnya dimasukkan tidak boleh kena air, tidak boleh digaruk, bahkan tidak boleh terusap kain dengan keras selama 3 hari. Hasilnya nanti akan dibaca langsung oleh Bude Dokter dalam waktu 3×24 jam.
Hasilnya abu-abu, wkwkwkwk. Harusnya yang normal akan timbul benjolan diameter tertentu. Yaudalah kami berpegang pada hasil ronsen thoraxnya saja. Pulang dengan bekal obat TB dan obat alerginya karena batuknya menggila selama 3 hari hingga saya tidak bisa tidur juga.
Denial Soal TB Paru yang Kebangetan
Anak lanang lahir dengan membawa alergen-alergen bapak ibunya. Belum lagi kondisi saat itu bapak saya masih merokok aktif. Kena gula, jajan coklat/ciki, dan es grem bisa membuat batuknya berlangsung berhari lamanya, juga kulitnya yang bersisik karena dermatitis atopik dari makanan. Tapi masa toddlernya dia sangat gendut. Hingga masuk sekolah PAUD dan TKnya masih terlihat pipi gembil. Tahun 2024 ini masa SDnya, di situ dia mulai terlihat lebih kurus. Bahkan sebelum masuk SD, postur tubuhnya segitu-gitu aja. Sekali lagi saya denial ya abisnya gimana…batuk dikit langsung susut beratnya.
Di pertengahan tahun ini kakak saya berkali-kali mengejar untuk dironsenkan aja sudah. Once saya curhat ke Etha, dia cuma bertanya ‘Kakaknya dokter ta mbak?’… IYA! Sp Penyakit Dalam pula. Etha ngguyu kemekelen sambil menjawab ya jelas sih kakaknya kalau worry. Tapi kakak tidak bilang ‘Yaa kan apa kubilaaang..’ waktu saya sodorkan hasil tesnya. TB Paru bisa disembuhkan, yang penting teratur minum obatnya ya.
Itulah yang membuat saya drama nangis di parkiran SIMA Lab sepulang tes mantoux. Anak lanang masih nangis sesenggukan karena sekali lagi dipaksa suntik. Saya cuma bisa meluk dan minta maaf, ‘Mama yang salah, mama minta maaf mas Gaga jadi sakit TB Paru kayak gini ya. Mama minta maaf banget pengobatan sakitnya mas Gaga akan lama sekali…’
Belum Lagi Defisiensi Vitamin D dan Zat Besi, Allahu..
Yang ini bukan denial tapi masih ngga terima karena anaknya manager, hidupnya tercukupi, keponakannya dokter spesialis, cucunya jenderal, KOK BISA KURANG VITAMIN D sama ZAT BESI, YA ALLAH…
Tapi saya sadari, salah satu konsekuensi memilih SD dengan small-class type dan sekolahnya gedung bertingkat adalah anak saya jarang ada aktivitas di bawah matahari pagi. Lha piye, upacara dan olahraga aja di hall pake AC. Minim halaman sekolah ngga seperti sekolah bapak ibunya yang bahkan punya lapangan bola sendiri, dikelilingi kebun tela, dan berlimpah cahaya. Suplemen vitamin Dnya tidak teraktivasi sempurna tanpa sinar matahari, bukan?
Sementara less zat besi di darahnya saya duga karena hobinya minum teh. Anak saya ini jawirrr banget seperti Eyangnya Paksu. Ngeteh pagi dan sore. Kalau makan di luar milihnya es teh. Kondisi ini lagi jadi concern juga kan ya? Apalagi tren kedai-kedai teh murah meriah sedang marak-maraknya jadi franchise di mana-mana.
Salah satu yang menyebabkan batuknya anak lanang ngikil berat sebelum akhirnya saya tes Thorax-kan kemarin adalah es teh jumbo yang menjadi menu Jumat Berkah di masjid dekat rumah. Disclaimer, saya nggak menyalahkan menunya, memang anak saya yang tidak tawar gulanya. Saya mencicipi sedikit manisnya luar biasa. Sorenya dia mulai batuk, malamnya tidak bisa ditahan-tahan lagi, ngikil sampai susah tidurnya. Senin tes lab, selasa periksa, jumat diberi obat alergi dan batuknya mereda dengan cepat.
Nah, wajar kan saya denial anak ini kena TB Paru?