Senin sampai Jumat saya memulai hari jauh lebih pagi daripada anak dan suami. Salat subuh, liat-liat resep, bersih-bersih dapur lalu persiapan memasak bekal. Dengan jam shift pak suami yang sekarang lebih banyak masuk pagi, otomatis kencan pagi setelah anak-anak sekolah jadi berkurang.
Masak bekal-bekal pun kebanyakan menuruti yang bisa dimakan anak-anak dan menu yang aman untuk dimakan sampai siang oleh pak su. Sudah lama saya nggak masak Kapurung, Sambal Terong, atau Lele Penyet setengah matang. Semuanya kesukaan saya dan suami sama sekali nggak suka, karena setelah menyiapkan bekal, bersih-bersih dapur lagi, gerak-gerak badan bentar, saya uda kehabisan energi untuk masak kesukaan saya.
Belakangan makan saya jarang teratur sejak pergantian shift pak su. Saya juga lagi mencoba diet kopi americano untuk ala-ala intermittent fasting. Jadinya tambah nggak karu-karuan nggak pernah menyenangkan diri menguplek-uplek dapur untuk bikin apalah apalah. Karena percayalah diet kopi americano itu ngefek menurunkan nafsu makan saya.
Hari ini ini hari sabtu. Pak su masuk pagi. Anak-anak lagi suka telor keju saja, dan dikirimi mac and cheese sama Antepi. Selepas merontokkan daun-daun pohon mangga, tiba-tiba kepikiran pengen tumis terong pedas ala resep korea yang baru dilihat beberapa waktu lalu. Terongnya harusnya dikukus, tapi saya goreng saja. Nggak usa ulek-ulek bumbu hanya pakai simpanan sambal bawang yang beku di kulkas. Tambah cumi!
Lalu ibu bertanya waktu saya menyendok nasi, tumis terong, dan dikecroti kecap.
“Bukannya kalo masak terong suamimu nggak suka? Kan rugi sudah masak jadi harus masak lagi?”
Saya diem….. Mikir.
Ruginya dari mana sih?