Cerita Ketika Pak RT Tak Ada

 

TINGTONG.. TINGTONG..
TINGTONG.. TINGTONG..

“Yaa Pak Yusuf?” Tanya suami saya sambil kucek-kucek mata. Jam masih menunjukkan pukul 04.30, hati kami berdebar keras menanti berita buruk yang mungkin menimpa. Sepagi subuh seperti ini, kalau nggak ada yang darurat, nggak mungkin sampai ngebel-ngebel rumah dengan penuh semangat.

“Pasar Besar Matahari kebakaran, Mas!” Teriak Pak Yusuf, yang kebetulan menjabat ketua RT dan rumahnya tepat di depan rumah saya.

Kemudian beliau menarik tangan si suami, “Lihat tu, asapnya tebel banget dari sini!” Sambil mengajak si suami nonton di tengah jalan. Si suami yang masih belum sadar sepenuhnya cuma bengong ditarik-tarik untuk nonton.

Dan saat itu juga Pak RT saya itu pun meninggalkan si suami. Di tengah jalan. Masuk kembali ke rumahnya tanpa lagi bilang apa-apa.

Ngeloyorlah si suami masuk ke rumah dan mengunci pintu lagi.

“Ada apa?” Tanya saya.

“Cuman ngasih tau asap Pasar Besar Malang kebakara, itu aja…,” kata si suami.

“Teruuuus, hubungannya sama kita apaaaaaaa!” Gemas saya njambak-njambak rambut karena keganggu tidur yang mana mata baru merem sekitar jam 3. Harapan untuk tidur sampai sedikit siang sebelum berangkat ngantor pun sirna. Mata sudah nggak bisa diajak tidur lagi. Alamat cranky seharian ini, pikir saya.

ADUUUUH, BAPAK INIIIII.. BIKIN GEMES TETANGGA KOK KAYAKNYA HOBI!

Ya, memang bukan sekali ini saya gemes sama ke-ignorant-annya. FYI, Pasar Besar Malang itu sekitar 3km jauhnya dari komplek rumah kami. FYI juga, pekerjaan saya dan suami bukan petugas pemadam kebakaran. Jadi nggak mungkin kan rumah terkena dampak kebakaran karena jauh serta jalannya cukup terpisah, dan kemungkinan beliau mengira kami akan jadi petugas pemadam kebakaran dadakan itu juga nggak ada kan?

Rumah yang saya tempati ini memang peninggalan keluarga suami. Turun temurun dihuni tiga generasi, masih kokoh berdiri. Begitu juga rumah Pak RT di depan rumah kami. Bedanya eyang dan Mama Mertua sudah pindah ke kota sebelah, sementara rumah Pak RT hanya dihuni bersama istrinya, anak cucunya tidak bersama mereka.

Saking terbiasanya sama keluarga Mama Mertua, mungkin Pak RT masih menganggap kami sama seperti saat beliau bertetangga dengan Mama. Mulai dari menyuruh saya dan suami untuk mengatur meja teras rumah, bahkan kadang-kadang beliau nggak jarang membuka pintu garasi dan menempatkan motor-motor tamunya di sana.

Tepok jidat ngga? Tunggu belum selesai.

Rumah ini memang dikenal terbuka untuk siapa saja. Rumah besar yang dulu penghuninya lebih banyak teman dan saudara karena Mama Mertua anak tunggal dari Eyang yang mantan pejuang. Dengan empat anak Mama, bisa dibayangkan berapa teman yang pernah mampir di sana? Itu belum temannya Mama juga, lho!

Sisa-sisa keramaian itu masih terlihat di sana sini. Tumpukan piring jadul untuk makan siang remaja-remaja kelaparan, koleksi gelas belimbing eyang putri, dan alat masak segede-gede gaban untuk memasak bagi sekompi pemuda. Pak RT pernah bilang, rumahnya sepi ya sekarang.

Ya, dan saya menyukai keheningannya. Saya bahagia menempati rumah besar ini bersama si suami, berdua saja.

Saya yang berempat saudara, di rumah BTN dengan kamar dua. Rumah sebesar ini hanya dihuni bersama suami, priceless. Tidak include sama keabsurdan Pak RT-nya ya.

Pak RT yang setiap awal bulan nyelonong masuk rumah meletakkan amplop surat-surat tagihan di meja makan. Pak RT yang sudah menganggap tangga lipat milik Mama bisa dipinjam diambil sendiri kapan saja. Pak RT yang sangat terbiasa sama pintu rumah ini yang selalu terbuka.

Sampai suatu siang di hari Minggu. Saya dan suami menikmati day off dengan tidur-tidur manja seharian. Di tengah tidur-tidur ayam, terdengar bunyi kaca beradu di samping jendela kamar. Saya langsung berdiri terbangun siaga menghadapi hal yang tidak diduga.

Terlihat bayangan di jendela..

Saya mengambil sapu, dan suami mengambil HP untuk siaga.

Membuka pintu dapur…mengintip keluar…

Di sana, ada Pak RT lagi ngopi dan meletakkan gelasnya di meja kaca sambil membaca koran di kursi sebelah kamar.

Pak RT saya memang luar biasa. Saya hanya berharap siang itu dia baru saja duduk di sana, nggak sudah lama dan mendengarkan ‘celoteh’ kami berdua.

Tapi pernah juga kami kehilangan keabsurdan Pak RT yang tercinta.

Seangkatan dengan Mama Mertua, Pak RT pun juga semakin menua. Merindukan anak cucunya dan meninggalkan rumah untuk menengok mereka. Rumah depan pun jadi lengang berhari lamanya. Nggak ada yang nyelonong masuk rumah lagi, rasanya tuh beda. Melihat tangga lipat yang nggak berpindah tempat selama berhari-hari, aneh juga ya.

“Pak RT ke mana sih, sayang?” Tanya saya suatu pagi sambil mencuci piring.

“Masih ke anaknya mungkin,” jawab si suami yang lagi nyapu.

“Sepi juga ya rumah depan.”

“Kan suasana gini yang bikin kamu bahagia di rumah, say? Nggak deg-degan kapan Pak RT tiba-tiba masuk gitu aja,” kata si suami sambil ketawa.

“Hahahaha iya sih. Bahagia di rumah ya kalau bisa berdua gini. Yaudah, aku lanjut nyuci baju ya..,” pamit saya. Melepas celana pendek, dan bersiap main air sambil cuci baju. Berkaos kostum basket panjang sepaha, saya melanjutkan tradisi Mama Mertua mencuci baju tanpa mesin cuci. Saya suka main airnya, tapi sampai detik ini masih mencari mesin pelipat baju karena malas setrikanya.

Dan tiba-tiba pintu samping terbuka, Pak RT melenggang masuk sambil bawa Getuk Pisang Kediri.

“Mas, ini oleh-oleh ya,” katanya sambil berjalan, melewati saya di balik jemuran, masuk ke ruang makan, duduk dan mengajak si suami mengobrol di dalam rumah.

Saya…..hanya….diam…membeku…meraih…handuk…menutup bagian bawah yang terbuka..sebelum.. dia.. menyadarinya.

Menelan kutukan sumpah serapah karena kaget tidak terkira.

Paaaak Erteeeeeeeeee!

18 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *