Minum air yang banyak. Jangan lupa makan buah, sayurnya juga ya..
Minum air yang banyak. Jangan lupa makan buah, sayurnya juga ya..Minum air yang banyak. Jangan lupa makan buah, sayurnya juga ya..
Pesan itu selalu disampaikan pak dokter ganteng setiap saya periksa. Nggak cuma sekali, dia selalu bilang 3x! Pak dokter ganteng memang gampang inget sama pasiennya yang sakitnya itu-itu aja sih. Mungkin emang kelihatan dari kulit saya yang kusam, dan nggak terawat akibat sukanya ngebolang. Padahal ngebolangnya ke tempat yang banyak air lho, seperti pas intip-intip Sungai Brantas dulu.
Masak saya masih nggak sadar juga sama kebutuhan tubuh sendiri yang perlu air…
Saya paham sebenar-benarnya bahwa kelangsungan hidup saya membutuhkan air setiap hari. Siapa sih yang nggak membutuhkan air?
Kamu tahu kan, dan menyadari juga kan kalau setiap detik manusia dan makhluk hidup lainnya selalu bergantung dengan air. Mulai kebutuhan minum, mandi hingga digunakan untuk kegiatan sehari-hari, seperti mengairi sawah maupun budidaya ikan juga memerlukan air. Meski banyak yang paham, menggunakan air berlebihan tidaklah baik, tetapi pada kenyataannya tidak sedikit orang yang begitu mengabaikan kelangsungan ‘hidup’ air.
Kenyataan di lapangan menggambarkan sumber air bersih digunakan dengan seenaknya, bahkan nggak sedikit manusia yang justru mencemarinya. Meski air tampaknya seolah nggak bisa habis, sejatinya air tanah yang digunakan sehari-hari memiliki batasan. Penyerapan besar-besaran dalam jangka panjang akan membuat air tanah semakin berkurang. Adapun sungai yang semestinya bisa menjadi sumber penghidupan, kini kian rusak dan bercampur dengan limbah dan kotoran.
Sungai Brantas contohnya, salah satu sungai besar yang melewati kota Malang ini, tak lagi sepenuhnya layak dikonsumsi. Di hulunya tampak bersih, di hilir memprihatinkan kondisinya. Masyarakat yang seharusnya bisa menjaga, berbalik mengotorinya. Hal ini begitu tampak dari warna air sungai yang tidak lagi jernih. Tak hanya ranting pohon dan guguran daun yang jatuh ke sungai, berbagai sampah rumah tangga yang semestinya tidak ada, tampak jelas terlihat di mata. Seolah tak ada masyarakat yang peduli, pemandangan semacam ini sudah lazim ditemui.
Sungai Brantas bermata air di Desa Sumber Brantas, letaknya dekat Kota Batu saat ini. Kamu pasti melewatinya kalau mau berwisata ke sumber air panas Cangar. Air yang berasal dari simpanan air Gunung Arjuno dan Welirang, lalu mengalir ke Malang, Blitar, Tulungagung, Kediri, Jombang, Mojokerto. Bagi masyarakat Jawa Timur, aliran Sungai Brantas adalah sumber dari kehidupan. Nggak hanya untuk kebutuhan irigasi, bahan baku air minum sampai pembangkit listrik Jawa Bali. Jika di atas airnya jernih dan sangat menyenangkan untuk dipakai berendam, beda lagi saat sudah sedikit turun dari Sumber Brantas.
Dari hasil survei sederhana yang pernah saya lakukan, warna air di Sungai Brantas memang tidak lagi jernih. Padahal, survei tersebut dilakukan di bagian hulu yang notabene dekat dengan sumber mata air pegunungan. Walau begitu, sejauh mata memandang memang tidak begitu banyak sampah rumah tangga yang ditemukan, hanya beberapa kantong plastik yang tersangkut di bebatuan. Mungkin sampah yang ada ikut terbawa saat sungai meluap di musim hujan. Di samping itu, jauhnya pemukiman dari sungai yang saya amati, membuatnya sekilas agak bersih dari sampah rumahan.
Survei sederhana ini yang saya lakukan di hulu sungai Brantas beberapa waktu lalu membuktikan bahwa sungai ini tak lagi aman digunakan langsung untuk memenuhi hajat hidup orang banyak. Bahkan, menurunnya kualitas air Sungai Brantas pada bagian hulu ini, sudah terdeteksi sejak sepuluh tahun terakhir. Hal ini disebabkan lantaran wilayah konservasi dan hutan lindung di Gunung Arjuna sudah beralih fungsi menjadi lahan pertanian (Tempo, 2014).
Setahun sebelumnya, Sahabat Sungai Indonesia juga pernah melakukan penelitian dengan menyusuri Sungai Brantas dari Malang sampai Surabaya. Hasilnya, selain daerah resapan yang semakin berkurang, banyaknya limbah industri yang dibuang oleh beberapa pabrik di sepanjang Sungai Brantas, kian memperparah kondisi sungai (Kompas, 2014).
Tidak sampai di situ saja, air Sungai Brantas ternyata juga tidak memenuhi standar baku mutu air layak konsumsi (Sunarhadi dkk, 2001). Kondisi tersebut diperkuat setelah ditemukan 330 ton limbah cair yang mengaliri Sungai Brantas setiap hari (Antara, 2006). Hasil pengukuran turbiditas atau tingkat kekeruhan air di hulu Sungai Brantas Malang, menunjukkan kisaran angka 14 sampai 18 mg/L. Padahal, ambang batas kekeruhan air layak konsumsi tak lebih dari 5 mg/L. Hal ini sesuai dengan peraturan Kementrian Lingkungan Hidup tahun 1988 tentang Baku Mutu Air pada Sumber Golongan A.
Berbeda dengan pengamatan dari penelusuran ketika aliran sungai sudah melewati permukiman penduduk. Dari bersih dan hanya kecoklatan karena sedang sedikit meluap di bagian hulu, saat memasuki kota Malang terlihat tumpukan sampah yang menumpuk di pinggiran, dan banyak lagi yang terbawa air terus sampai melewati jembatan Buk Gluduk di Kota Lama dekat tempat saya tinggal. Berkali-kali gerakan membersihkan sampah digagas oleh pecinta dan pemerhati lingkungan. Harapannya warga sekitar sungai juga tergugah untuk menjaga kualitas sungai yang melewati permukimannya.
Apa daya, harapan tinggal harapan.
Bertahun lepas dari periode bersih-bersih sungai Brantas, kembali saya mengunjungi pinggiran sungai itu bersama teman dekat dengan misi Jelajah Jembatan. Sungguh, nggak ada perubahan berarti dari aksi teman-teman membersihkan sungai Brantas dulu.
Perjalanan menyusuri pinggiran permukiman Sungai Brantas kami mulai dari ujung jalan BS. Riadi, Malang. Pinggiran sungai tampak tenang dan bersih. Mengingat musim itu musim hujan, sepertinya sampah terbawa cepat dan beberapa tersangkut di dahan-dahan pohon yang mencuat. Padatnya permukiman, namun terasa hangat eratnya penduduk di sepanjang sungai Brantas ini, agak merancukan tujuan survei kami.
Minggu masih pagi, dan kemudian kami melihat anak-anak berlari membawa sabun dan sikat gigi, untuk mandi di kamar mandi umum yang airnya langsung dibuang ke sungai. Di kelokan sungai yang lain, ada beberapa orang yang menikmati sunyi dengan memancing ikan. Waktu ditanya ‘dapet berapa pak?’, dia menjawab santai, ‘belum dapet nak..’. Mengingat keruhnya air sungai Brantas, saya jelas ragu dia akan mendapat ikan apa nggak sampai sore nanti. Belum lagi kotoran manusia yang melewati tempatnya memancing, ternyata di ujung sungai sebelah sana lagi ada seorang bapak yang dengan tenang menguras isi perutnya dan nggak ragu menunjukkan aktivitasnya pada kami.
Kebanyakan penduduk di sepanjang sungai Brantas itu tidak mengerti bahwa air limbah dari toilet umum di pinggir sungai, dan kotoran manusia yang dibuang, berbahaya bagi kesehatannya. Banyak penyakit yang dapat ditularkan melalui air limbah (BLH Pariaman, 2014). Air limbah ini ada yang hanya berfungsi sebagai media pembawa saja seperti penyakit kolera, radang usus, hepatitis infektiosa, serta schitosomiasis. Selain sebagai pembawa penyakit di dalam air limbah itu sendiri banyak terdapat bakteri patogen penyebab penyakit seperti:
- Virus penyebab penyakit polio myelitis dan hepatitis
- Vibrio Cholera, penyebab penyakit kolera asiatika
- Salmonella Typhosa a dan Salmonella Typhosa b, penyebab penyakit typhus
- Salmonella Spp penyebab keracunan makanan
- Shigella Spp penyebab disentri bacsillair
- Basillus Antraksis penyebab penyakit antrhak
- Mycobacterium Tuberculosa penyebab penyakit tuberculosis
- dan masih banyak lagi
Tidak hanya berbahaya bagi manusia, limbah dan kotoran yang dibuang ke sungai juga mempengaruhi ekosistem ikan di sungai. Mungkin itulah penyebab bapak pemancing di sungai Brantas tadi tidak juga mendapatkan pancingannya. Dari aktivitas Ecoton bersama peserta Arung Brantas tahun 2013 lalu, hanya ditemukan 7 spesies ikan di hilir Sungai Brantas (Mongabay, 2013). Berkurang 4 spesies dari aktivitas yang sama di tahun sebelumnya. Limbah yang dibuang ke sungai terbukti berpengaruh besar terhadap kelangsungan hidup ikan-ikan di dalamnya.
Masih di sekitaran kota Malang, saya bahkan mendapati himbauan untuk nggak membuang diapers bayi ke sungai. Entah ada budaya apa yang merasuki warga kota saya dengan pemahaman kalau buang diapers bayi harus ke sungai, nggak boleh di tempat sampah, agar alat kelaminnya tetap sehat. Budaya membuang diapers bayi ke sungai ini pernah dilakukan juga oleh sahabat saya yang kejawennya begitu kental. Dan beberapa kali saya pergoki sendiri, nggak cuma bapak-bapak, ibu-ibu, dan keluarga yang membawa anak, berhenti di pinggir jembatan dan membuang sampah langsung ke sungai di bawahnya.
Ini menyedihkan bukan?
Anak-anak yang belum paham dan seharusnya mendapat pendidikan untuk menghormati lingkungannya, justru diberi contoh langsung oleh orang tuanya. Akan terjadi sampai berapa generasi selanjutnya budaya membuang sampah ini? Akan sampai kapan rakyat tidak peduli pada kelangsungan ‘hidup’ air sungai?
Yang memahami pentingnya kelangsungan ‘hidup’ air dan ekosistem di dalamnya, mungkin hanya beberapa persen dari penduduk di sepanjang sungai Brantas, dan kita selaku penduduk yang secara tidak langsung membuang air limbah rumah tangga tanpa diolah lebih dulu. Kebanyakan yang nggak paham juga tidak mau tahu karena berpegang pada pasal 33 UUD 1945, yang berbunyi ‘Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.’ Sehingga mereka merasa berhak menggunakan air, merusak air, dan menghambur-hamburkan air tanpa mengindahkan kebersihan air untuk digunakan bagi rakyat lain yang berada di daerah hilir sungai.
Padahal untuk mengatasi air sungai yang kotor oleh limbah cair dan sampah ini dibutuhkan waktu yang sangat lama. Sungai Brantas memerlukan peran serta aktif masyarakat untuk menjaga aktivitasnya, agar air yang ditampung sungai aman untuk ekosistem di dalamnya. Jika tidak ingin membuat kerusakan lingkungan semakin memburuk dan pasokan air bersih hilang, mulailah untuk menggunakan air dengan bijak.
Gunakan air seperlunya, matikan kran saat air tidak dibutuhkan, serta kurangi jumlah air saat mencuci pakaian. Walau tampak sederhana, langkah ini bisa menyelamatkan air bersih untuk generasi selanjutnya di masa depan. Dan, jangan lupa untuk cerdas mengolah sampah, agar Daerah Aliran Sungai Brantas bersih dan tetap indah ya..
Sambil mengingat langkah baik mengolah air limbah dan menghemat air bersih, coba renungi pepatah kuno suku Indian ini..
Jika ikan terakhir telah mati
Jika sungai terakhir telah hilang
Jika pohon terakhir telah tumbang
Maka manusia baru sadar apa arti uang
Sumber:
http://www.tempo.co/read/news/2014/05/29/206581094/Kualitas-Air-Sungai-Brantas-Makin-Merosot diakses pada 26 Agustus 2014
http://regional.kompas.com/read/2013/04/13/18095352/Sahabat.Sungai.Susuri.Sungai.Brantas?utm_campaign=related_left&utm_medium=bp&utm_source=news diakses pada 26 Agustus 2014
http://suaraguru.wordpress.com/2010/01/05/sungai-brantas-riwayatmu-kini/ diakses pada 26 Agustus 2014
http://www.blh.pariamankota.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=23:pengolahan-limbah-cair&catid=1:home diakses pada 27 Agustus 2014
http://www.mongabay.co.id/tag/prigi-arisandi/ diakses pada 27 Agustus 2014
hiks…
kaliku malang, kaliku sayang
jgn buang sampah di kali yaa
very interesting….
salam kenal bang…keren
wow….keyen
hahahahaha…keren keren keren…salam knal buat yg punya web
keren menarik
Hulu sungai brantas sekarang dibuat mandi orang orang entah tua muda wanita pria telanjang dengan entengnya.
Artikel yang menarik, sangat penting untuk menjaga sungai maupun alam sekitar