Kemarin, selewat saya membaca tweet seseorang yang berisi capture postingan path seseorang bernama Dinda. Klik dan membaca. Kemudian hati pun gusar.
Gimana sih ini Dinda. Sudah tau dia juga sama-sama wanita, masa ada ibu hamil minta kursinya engga dikasih sih? Nanti kalau dia hamil, tau rasa deh. Begitu pikiran saya, dan langsung RT tweet tersebut tanpa pikir panjang.
Kemudian timeline pun semakin ramai. Pendapat bahwa Dinda tidak berempati pada ibu hamil santer terdengar.
Sampai saya baca tweet @Swedho.
tapi ya ngeri juga ya, ngeluh dipath yang dikiranya isinya cuman temen doang, tiba2 dicapture trus disebar di twitter…….
— Your Muse (@Swedho) April 16, 2014
W.A.I.T.
Yap betul. Postingan Dinda di Path seharusnya private, karena sistem Path memang membatasi pertemanan hingga 150 orang saja. Coba baca teori dasar dibuatnya Path ini.
Berdasarkan teori dari profesor antropologi dari Oxford University Robin Dunbar, seseorang hanya bisa memiliki 150 hubungan yang sangat dekat dengan orang lain. Diluar itu, tidak dihitung hubungan dekat. Di Path, setiap user hanya bisa berteman dengan 150 orang. Hal ini membuat mereka benar-benar memilih siapa saja yang mereka anggap dekat. (mengapa path cocok dengan pengguna Indonesia .. sumber)
”Hal ini membuat pengguna lebih open terhadap apa yang mereka share di Path. Terutama momen personal dengan teman atau keluarga tanpa perlu khawatir dilihat oleh orang-orang tertentu,” kata Andreas. ”Pengalaman sharing yang otentik ini membuat level hubungan di Path lebih tinggi dibanding sosial media seperti Facebook,” ia menambahkan.
Kecuali ada orang-orang tertentu yang postingan pathnya langsung dishare ke Twitter dan Facebook.
Dari teori Path itu saja menyebarnya postingan Dinda sudah terasa agak tidak enak di hati. Bahwa orang-orang yang sudah diseleksi menjadi 150 orang teman Path itu pun bukan benar-benar orang yang bisa kita percayai selayaknya teman dekat. Apa pun yang akan kita tuliskan di sana, bukan benar-benar hanya bisa disimpan oleh orang-orang yang kita percaya.
Sebagai pengguna social media, kitalah yang seharusnya dituntut lebih bijak untuk menuliskan apa pun di sana. Sebebas-bebasnya kita berpendapat di Indonesia ini, pendapat kita tidak bisa menyenangkan semua orang, bukan? Apa pun alasannya. Yang tidak menyenangkan bagi semua orang, pasti akan menjadi pro dan kontra. Dan sudah seharusnya kita siap menerima apa pun konsekuensi dari setiap postingan kita.
Ketika saya menulis ini, lanjutan postingan Dinda masih terus beredar. Capture postingan pembelaan Dinda pun terus beredar. Jadi, siapakah teman Dinda yang menyebarkannya? Eng Ing Eng…
Daripada terus berdebat tidak penting, sudahkah kita melihat diri sendiri. Apakah kita sudah berbagi tempat duduk dengan orang-orang yang membutuhkan?
postingan yang melihat dari sisi lain 🙂
moral storynya, cari teman path yang benar2 akan keep rahasiamu dan sepaham denganmu 😀
Setelah kejadian ini–dan juga kejadian-kejadian sebelumnya sih–aku jadi semakin mikir, kenapa kita gampang sekali ya berkeluh kesah di medsos? Sepertinya ketergantungan kita terhadap medsos tinggi sekali. Ehm…
Hae mbaneng, numpang eksisya biar ketularan keren blognya.. ;D
Jadi yang perlu dipertanyakan sebenarnya adalah batas sebuah privasi masing2 individu.
Uhm… Mungkin kayak gini,
Apakah halnya membicarakan rahasia perusahaan semacam email kantor bakrie kepada orang lain itu privasi? Apakah membicarakan pertengkaran rumah tangga di infotainment itu sudah bukan privasi? Apakah telepon disadap australia itu adalah melanggar privasi? Apakah supaya privasi perlu dibagi dengan baik dan benar maka perlu di gembok atau sumpah focong? Apakah mengumbar daerah privasi itu semakin tidak privasi? *halah*
jadi mari kita les privat! ;))
hehehe sependapat neng. Sosial Media = Internet. Pada dasarnya kita ngga bisa membendung postingan kita keluar dari lingkaran 150 orang terdekat yang ada di Path sekalipun.
Contoh: bisa saja misalnya yang screen capture itu temennya Dinda bernama A yang justru setuju dan posting ulang di Path dia. Tapi, dari temen A itulah lantas postingan dinda menyebar.
Jadi, kita sendiri memang harus bijak di sosial media. Walau saya juga ngga stuju dengan bullying, tapi terus terang status Dinda memang bikin siapa yang membacanya emosi (sesaat) karena terlalu “kasar”.