Kriet.. kriet.. kriet..
Kriet.. kriet.. kriet..
Keheningan di puncak Ijen pagi itu dipecahkan oleh suara berderit mengiris kalbu yang mengalun seirama dengan tersibaknya asap belerang. Sesosok lelaki dengan tubuh legam membawa dua keranjang di pundaknya, meniti satu demi anak tangga buatan tangan manusia seadanya. Jalan setapak kecil yang penuh batu tak menyurutkan langkahnya untuk sampai mendaki menuju puncak.
Hati yang sempat mencelos ngeri sontak berubah menjadi kagum melihat kekuatan pundak lelaki yang tampak seperti keluar dari perut kawah Ijen. Keranjang yang dipikulnya jelas tidak ringan karena mengayun kuat seiring langkahnya mendekat. Ayunan keranjang yang berderit-derit di atas bahunya terdengar harmonis di antara dinginnya angin gunung Ijen yang terletak di kawasan Bondowoso ini.
Manusia super yang meluangkan waktunya sejenak dengan kami pagi itu bernama Pak Shodiq.
Pak Shodiq adalah satu dari ratusan manusia super pengangkut belerang gunung Ijen. Dengan senyum ramah dan logat Madura yang kental bapak dua anak ini mengawali kisahnya sebagai buruh angkut belerang sejak tahun 1991. ‘Karir’nya dimulai dari melanjutkan pekerjaan ayahnya yang telah bergabung sejak awal penambangan ini didirikan sekitar tahun 1967 dengan upah masih 10 Rupiah per kg-nya.
Tahun 1991 Pak Shodiq mendapat upah awal 100 Rupiah per kilogramnya dan menjadi 600 Rupiah per kilogram pada tahun 2009 ketika saya bertemu dengannya. Bagi Pak Shodiq, menjadi kuli belerang adalah pilihan terbaik dibandingkan bekerja sebagai kuli tani di Madura dengan hasil yang jauh lebih minim.
Selama puluhan tahun, kawah Ijen dan penambang belerangnya tidak pernah terpisahkan bagai dua sisi mata uang. Kawasan yang masuk dalam salah satu inspirasi foto Dji Sam Soe Potret Mahakarya Indonesia ini menyuguhkan pemandangan dramatis bagi pengunjungnya. Setiap saat penambang harus melakukan pekerjaan yang pasti dirasakan sangat berat bagi yang melihat. Mulai dari mencongkel belerang padat, memastikan pipa terhindar dari panas, dan juga mengangkut yang semuanya dilakukan di tengah kepulan asap yang menyesakkan paru-paru dan memedihkan mata. Pekerjaan-pekerjaan itu dilakukan tanpa perlindungan apa pun, hanya bermodal kain lusuh dibasahi air dan digunakan untuk penutup hidung dan mulut sekedarnya.
Sungguh berat beban yang mereka pikul. Kami membuktikan sendiri ketika mampir di pos Pondok Bunder tempat mereka beristirahat. Keranjang-keranjang itu sangat berat! Dengan berbekal raga yang kuat, manusia-manusia super pengangkut belerang hilir mudik dengan keranjang seberat hampir 70 kilogram di pundak menuju tempat penimbangan di pos Paltuding. Dari Paltuding, belerang dikumpulkan dan diangkut dengan truk. Rata-rata pengangkut berusia 25-55 tahun, di atas 55 tahun, pemilik penambangan tidak akan mengijinkan untuk menjadi kuli angkut belerang.
Dengan banyaknya wisatawan yang berkunjung ke Kawah Ijen, manusia-manusia super pengangkut belerang ini mengaku mendapat hasil tambahan. Dari berjualan suvenir cetak dari belerang, juga menjadi objek foto dari turis yang datang. Ada pula penghasilan tambahan dengan menjaga pipa-pipa saluran sumber belerang di kawasan penambangan agar tidak terlalu panas.
Belerang-belerang yang diangkut para manusia super dari Kawah Ijen itu kemudian dibawa menuju Paltuding untuk dikumpulkan dan diangkut dengan truk ke Licin, tempat pengolahan belerang.
Pagi itu masih sepi. Tidak banyak pengunjung yang datang selain kami berenam. Naik turun dari Paltuding ke Kawah Ijen memang menguras tenaga. Tapi berbicara sejenak dengan manusia-manusia super itulah yang membuat kami semangat untuk menempuh 3 kilometer jalan menanjak dengan tenaga berlipat ganda.
Sungguh, perjalanan kali ini membuat kami mengerti, di balik keindahan salah satu objek Dji Sam Soe Potret Mahakarya Indonesia, ada manusia-manusia yang berjuang mencari hidup di baliknya.
And thousand thanks to Bazz
ijen memang dramatis ya. selalu ga kesampean deh kesana :_(
diagendakan mba dinda. aku mau ikutan klo mba ke sana 😀