Orem-Orem Bukan Arem-Arem, Camkan Itu, Neng!

Di postingan tentang kuliner khas nusantara yang akan dipopulerkan Pak Bondan bersama jaringan Parador Hotels, Winda memberi saran: Orem-Orem sebagai kuliner khas Malang. Saya jadi inget sama pengalaman waktu Pesan Orem-Orem di Malang pertama kalinya. Sebagai anak pesisir pantai keturunan Jogja, masa kecil saya dihiasi dengan kelezatan Arem-Arem buatan mama untuk sarapan dan ngemil-ngemil gitu.

Komplek masih sepi waktu itu. Hanya ada 2 rumah terisi. Tapi ada pasar pagi di permukiman sebelah, lengkap dengan warung makanannya. Ada yang Jual Orem-Orem di salah satu warungnya. Mata kecil ini berbinar.

‘Mama belikkan arem-arem di situ dong..’. Sudah jelas tercetak namanya Menu Orem-Orem bukan arem-arem masih kekeuh saja bilang Arem-Arem. Mama kelihatannya nggak tega. Kemudian mesenin.
‘Buk, Arem-Arem-nya masih ada?’, tanyanya ke Warung. Tetap bilang Arem-Arem.
‘Telas Buk, pesen gae sesuk’a?’. Habis. Mau pesan untuk besok?
‘Nggih pun. 20.000 ya buk,’ kata Mama.
‘Sesuk nggowo mangkok gede yo nduk..,’ kata ibuk penjual.

Dalam hati berpikir. Beli Arem-Arem di Malang harus bawa mangkok besar. Hmmm… Pasti istimewa. Nggak sabar ngupas pembungkus arem-arem hangat buat sarapan.

Besoknya kami kembali ke pasar, tentu dengan membawa mangkok besar seperti yang dipesan. Tiba di Warung Orem-Orem, mama menyodorkan mangkuk ke ibuk penjual.

Pertama, ibuk penjual mengupas lontong berukuran besar yang digantung-gantung di atas meja pesanan. Ok, mungkin itu bonusnya, pikir saya. Setelah 2-3 lapisan irisan lontong, lalu Ibuk penjual mengeluarkan panci besar dari ujung meja warungnya. Membuka tutupnya, kemudian di balik asap hangat yang mengepul, dia menyendok segerumbul sayur tempe kacang, dan beraneka isinya ke mangkuk yang kami bawa.

WAIT.

‘Buk, Arem-arem-nya mana?’ tanya saya.
‘Yo iki orem-oremnya, nduk,’ katanya.

Saya diam. Perbedaan A dan O itu masih bergaung di pikiran. Mangkok pun dibawa pulang. Mama juga bingung kayaknya.

Sampai rumah, mangkok berisi orem-orem itu pun didiamkan. Karena sama sekali beda dari yang dibayangkan. Rasanya ada yang salah ini..dalam hati saya berkata.

Trus kata ibuk rumah sebelah, ‘Kalo orem-orem di Malang ya gini, sayur tempe pake lontong. Kalo arem-arem nggak ada yang bikin di sini.’

Sejak saat itu saya berperang dengan Orem-Orem. Sama sekali nggak mau makan biarpun ditraktir.

Jadi kalau misalnya Orem-Orem dijadikan kuliner khas Malang, monggo saya antarkan ke yang jual. Tapi nggak mau makan. Teteup. :))

2 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *