Menyesal Ganti Baju di Pahawang Besar

Flashback ke perjalanan Pesona Indonesia yang ternyata dimulai sudah sebulan yang lalu. Hari pertama rombongan dibawa ke Lampung. Dengan segerombol orang, berkoli-koli barang bawaan, dan berlembar-lembar tanda check-in, dari Jakarta kami sudah membawa beragam kehebohan. Beberapa tampak masih berusaha kenalan, yang memakai kemeja floral wanita rasanya sudah siap dengan perjalanan, saya masih banyak diam.

Lampung di malam hari dengan suguhan tempoyak memberi cukup energi untuk melewati jalur panjang ke Pelabuhan Ketapang dan melipir ke pulau Kelagian Kecil sebagai tujuan pertama. Pulau yang nyaris tanpa penghuni ini seperti Pantai Tiga Warna di Malang, dengan gradasi warna pinggiran pantainya. Putih, biru muda, dan biru tua. Menyebabkan mahmud Putri ini kayak ngga mau dicabut dari pantainya.

Selalu suka gradasi warna yang kayak gini.. Lemah, gak mau pulang ?

A photo posted by Putri Normalita (@putrinyanormal) on

Setiap sudut Pulau Kelagian Kecil memang instagramable. Dari sisi tempat kami mendarat, sampai ujung lainnya yang berbatu karang. Tempat yang cocok untuk mengabadikan gambar si Yuki yang memakai kemeja floral wanita. Yuki selalu tampil cantik di foto, property yang dibawanya bikin dia selalu jadi incaran foto teman-teman.

Lepas dari Kelagian Kecil, rombongan dibawa ke spot snorkeling di sekitaran pulau. Duh saya sedikit lupa namanya. Tapi di spot tersebut ada landmark I LOVE YOU PAHAWANG meski sudah sedikit samar karena terbawa arus bawah. Cuaca sedikit mendung, sementara arus juga terasa kuat. Puluhan orang ini harus gantian dengan alat snorkeling yang disediakan. Duh mau langsung nyebur tanpa alat tapi masih awang-awangen karena lama ngga snorkeling.

Jadinya memuaskan diri dengan mengantri snorkel dan fin, ngga usa pakai life vest ngga papa deh. Akhirnya kelelepen mulu di spot ini karena lagi merasa ngga percaya diri. Ternyata saya lupa untuk meniup air laut yang masuk ke dalam snorkel, yatalam, ya pantes banyak air yang masuk ke dalam mulut.

Setelah puas snorkeling, kami beranjak ke Pahawang untuk makan siang. Menu ikan bakar, macam-macam ikan bakar dan sambal dabu-dabu dengan disanding kelapa muda, astaga seperti di surga.

Pahawang sebagai pulau tempat tinggal masyarakatnya, mulai berbenah. Dari yang pertamanya tidak peduli dengan wisatawan kini melihatnya sebagai mata pencaharian sampingan sebagai nelayan. Rumah-rumahnya dilengkapi dengan toilet sederhana untuk menyambut wisatawan yang ingin menyepi dan bermalam di rumah mereka. Kelompok pemudanya yang menyadari potensi pulau Pahawanglah yang mengajak mereka untuk berubah.

Kini Pahawang begitu ramah. Di berbagai sudutnya jadi banyak yang bisa diabadikan untuk memperlihatkan kepada dunia bahwa Pahawang memang indah.

Puas makan siang, kami dibawa ke Pahawang Kecil tempat gosong pasir menghubungkan pulau ini ke pulau di sebelahnya. Eksotis sekali. Sayang karena sudah mandi dan ganti baju di Pahawang, saya jadi enggan nyemplung lagi, padahal padahal padahal airnya memanggil-manggil untuk diselami.

Bayangkan kalau jalan di gosong pasirnya bisa seperti membelah lautan. Namun di sisi lainnya juga menyenangkan. Pantai yang sepi ini sayangnya sebagian sisinya sudah jadi hak milik pribadi. Kabarnya kalau si pemilik rumah di ujung sana itu sedang di pulau, tidak ada pengunjung yang bisa masuk.

Beruntung hari itu tak ada si pemilik. Sehingga puas rasanya menjelajah perairan Pahawang untuk menelusuri Lampung selanjutnya.

6 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *