Sharing Session #MTLAuditionMLG What U Need To Know About Music Industry

Anang High Five Lounge and Karaoke masih lengang. Hanya beberapa orang saja yang sliweran menyiapkan lokasi. Riuh peserta audisi Meet The Labels regional Malang siang tadi nyaris bersih dari ruangan.

Menjelang jam 7, satu persatu wajah-wajah yang saya lihat di sesi audisi mulai bermunculan kembali. Lighting mulai menyala, mas-mas bawa kamera besar yang menemani saya, mulai meregangkan badannya, bersiap kembali bertugas.


Dipandu oleh Jitta as moderator, sharing session dihadiri oleh perwakilan label yang tadi menilai di audisi. Ada Aden dan Alex dari Sony Music, Angga dari Seven Music, Ondit dari 267. Dari jajaran musisi ada Steven dan Teguh dari Steven Jam, Takaeda mantan vokalis Drive yang bersolo karir, dan Levi bassist the Fly.

Meet The Labels ini adalah ajang kompetisi yang langsung mempertemukan musisi dengan pihak label, which is adalah kesempatan langka yang harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk menunjukkan kemampuan bermusik bagi siapa pun yang ingin terjun ke industri musik. Di ajang ini, kamu ngga harus susah payah kirimkan demo karyamu, dan menanti direview label. Di ajang ini, label yang akan langsung melihat bakatmu, karya, dan aksi panggungmu, mereka akan mendapat insight tambahan dari social media yang menjadi jembatanmu ke publik.

Talent scouting dari label mempunyai beragam penilaian selain dari yang sudah disebutkan di atas. Kalau dari Sony Music open mind terhadap semua genre, asal penampilan, lagu, dan liriknya sesuai, 267 prioritaskan genrenya untuk diproduce di labelnya. Seven Music menambahkan sejauh mana engagement band terhadap publik, massa yang menyukai musik mereka. Oleh karena itu manage social media account, rajin upload lagu ke Youtube, dan punya cara khusus untuk mempromosikan diri, adalah poin tambahan bagi bibit baru dunia musik.

Fenomena social media memang tidak hanya mempengaruhi sosialisasi kamu dan teman-temanmu, tapi juga berpengaruh terhadap bisnis dan pekerjaan yang mungkin kamu nggak pernah bayangin sebelumnya. Kalau perusahaan akan melihat apa saja yang kamu tuliskan sebagai cerminan pribadimu, label akan melihat bagaimana kamu berinteraksi jualan bakatmu. Sony misalnya, mengorbitkan Gamal dkk karena video mereka di Youtube yang terus terupdate. Viewer klip mereka yang menyentuh angka jutaan, adalah contoh sejauh mana kepopuleran mereka dan kira-kira akan sebesar apa exposure dari setiap album mereka nantinya.

Dengan terbiasa berinteraksi dengan fans, dan terbiasa tampil memuaskan meski hanya lewat Youtube, musisi akan terasah kemampuannya menghadapi crowd massa. Kesiapan mental inilah yang akan menentukan kamu dan seberapa kreativitas kamu jual diri. Dengan kemudahan yang bisa kamu dapatkan dari kekuatan digital media belakangan ini, seharusnya bisa memuluskan, bisa juga jadi rintangan.

Karena nggak semua punya insting yang bisa membaca pasar. Untuk itu keberadaan label adalah untuk mengarahkan bakatmu agar bisa diterima di pasar. Seperti yang disampaikan Aden dari Sony Music, bidang A&R yang dibidaninya bertugas mencarikan lagu, mencarikan player, sampai produksi klip yang sesuai dengan tren yang lagi happening.

Mengikuti tren musik yang sedang happening itu penting, tapi Sony Music tidak mematok harus sesuai arus. Kalau kamu punya bakat khusus, dan bisa mencuri perhatian dengan genre yang beda, kenapa enggak. Tapi kamu harus pintar menjaga identitas dirimu. Nggak harus menyerahkan semuanya ke pihak label, karena identitas dirimu adalah modal yang akan menentukan langkahmu ke depannya.

Identitas diri tidak harus selalu di lagu atau di lirik. Sony Music membentuk identitas diri musisi juga dari penampilan. Contoh Nidji dengan syal kotak-kotaknya. Berapa tahun si Giring pakai syal itu? Contoh lain The Fly, bahkan saat malam hari pun mereka harus teetap pakai kacamata hitam. Dan hasilnya, identitas mereka ya itulah yang terpatri dalam ingatanmu sebagai fansnya, pembaca berita, dan juga penikmat musik yang sambil lewat saja, akan mudah mengingat siapa band yang barusan mereka lihat.

Strategi pemasaran lain dari label yang dibocorkan Alex dari Sony Music adalah menentukan tanggal rilis single. Setelah menyeleksi single mana yang akan menjadi jagoan andalan, label akan mulai bergerak memasarkan single tersebut ke iTunes. Hitungan exactnya minimal 2 minggu, maksimal 2 bulan untuk merilis tanggal single yang pasti. Setelah di iTunes bisa live, label mulai bergerak memasarkan single ke 600an radio di seluruh Indonesia. Saat kamu mendengarnya di radio, saat itu juga kamu sudah bisa membelinya di iTunes.

Strategi ini harus bersinergi dengan ada di mana saja profil bandmu bisa dilihat. Ok ini tambahan dari saya yang selalu kesusahan mencari profil band baru di online, social media, dan sebagainya. Kalau ingin segera terekspose dan mendapat tempat di hati pendengar, buatlah blog yang mencantumkan perjalananmu, lagu, dan lirikmu. Selain punya akun social media yang terupdate, profil dalam blog akan membantumu untuk dikenal media. Berbaik-baik sama media juga boleh lho, media tempat saya bernaung memang concern dengan bakat dari daerah tempat kami dibesarkan. Namun memang ngga banyak yang tau ^_^, oleh karena itu pintar bermain social media pintarlah juga memasarkan dirimu ke tempat yang tepat.

Strategi pemasaran diri sendiri ini juga akan dinilai oleh label lho, gaes. Aktif di komunitas seperti Changcuters, SID, atau Burgerkill, misalnya. Band lokal dari Malang yang sudah punya komunitas antara lain ya Crimson Diary yang perform di audisi, Tani Maju, dan yang saya kenal lagi Knee and Toes. Mereka genrenya beda-beda loh..

Genre yang kamu usung untuk musikmu emang ngga harus selalu ngikuti genre atau tren. Tren memang akan memudahkan kamu mengikuti arus, tapi kalau nggak komersil, apa yang mau dijual? Sony Music menuturkan semua musisi memang berusaha menjadi trendsetter, tapi kenapa ngga coba bikin tren sendiri? Tapi Sony juga ngga menutup kesempatan kalau kamu punya sisi komersil meski ikut trendsetter untuk dikembangkan lebih besar lagi.

Namun, tetaplah menjadi dirimu sendiri meski mengikuti trend. Ngga lebay, dan ngga meniru orang lain dalam bermusik. Ngga hanya karena ingin bisa menembus pasar internasional, kamu jadi orang lain untuk bermain musik. Besarkan dirimu di negeri sendiri dulu, baru kembangkan link pemasaran di luar negeri, Takaeda menambahkan. Kebanyakan musisi Indonesia yang terkenal di internasional sekarang justru tidak dikenal oleh masyarakatnya sendiri karena melupakan akarnya.

Sementara kebanyakan musisi yang terkenal di negeri sendiri, terkena star syndrome. Arogansi ini yang seharusnya dienyahkan dari para musisi. Levi menceritakan sisi susahnya dia menjadi ‘layar’ bagi sang vokalis dulu. Di atas panggung bolehlah vokalis menarik perhatian massa dengan aksi panggungnya, ketika turun panggung ya ngga usah berlagak menjadi star. Musisi itu harus punya attitude, di atas panggung kamu dielu2kan, di bawah panggung kamu orang biasa.

Lupakan sikap songong karena merasa sudah dikenal. Steven menambahkan, musisi itu dikenal dari karyanya, bukan dari personnya. Tanpa karya, musisi bukan apa-apa. Kalau kamu bertanggungjawab dengan passion mengikuti nalurimu menjadi musisi, do your best. Belajar dan terus belajar untuk mencari referensi baru. Berkarya dan terus berkarya untuk menelurkan karya luar biasa yang akan membuatmu terus diingat karena kreativitasmu akan menghasilkan tren baru.

Lewat ajang Meet The Labels inilah kesempatan bagi karyamu untuk didengar pihak label dan mungkin saja akan menjadi tren. Bagi Levi ajang kompetisi ini bagai mimpi di jaman dulu. Selain mengirimkan demo musik ke label yang wallahualam kapan didengarnya, di Jepang bahkan harus membayar label agar diprioritaskan untuk didengar. Hasilnya? Belum tentu. Dengan langsung bertemu label, di Meet The Labels, seharusnya kamu menyiapkan dirimu semaksimal mungkin lengkap dengan stage act, atribut, kostum, dan pendukung lain yang menjadi daya jual dirimu di depan label.

Dalam audisi regional Malang yang baru saja usai, memang tidak banyak yang menyiapkan dirinya semaksimal mungkin. Yang salah kostum lah, yang mungkin dipikirnya hanya macam festival musik biasa, sampai yang yaaa benar-benar tampil seadanya. Ini hanya penilaian saya sebagai orang yang awam musik. Tapi mengingat pihak label yang rapi meski sering bergaul dengan musisi, saya rasa tidak ada salahnya untuk ‘menjual’ dirimu semaksimal mungkin lewat penampilan. Yaaah.. IMHO aja. Karena seperti kata Takaeda, ketemu label itu susah, butuh perjuangan. Di Meet The Labels inilah kesempatanmu untuk ketemu label, kenapa ngga dimanfaatkan?

Saya yakin, di hati para peserta audisi regional Malang hari ini banyak penyesalan yang dipendam dalam-dalam. Terutama bagi mereka yang kurang maksimal dalam mempersiapkan dirinya. Jadikan hari ini sebagai pelajaran bagi kamu yang ingin terus maju dalam industri musik. Jangan menyerah, karena masih ada kesempatan untuk memperbaiki penampilan dengan terus mengirimkan karyamu lewat MeetTheLabels.com sampai 7 September 2014.

Demikianlah sharing session Meet The Labels 2014 yang bisa jadi bekal penting bagi musisi-musisi baru untuk bersaing di industri musik. Terima kasih pencerahannya!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *