Jalannya Mbahmu?

Ucapan kasar seperti itu sering terdengar di jalanan. Mengumpat pengendara lain yang memakai jalan seperti miliknya sendiri tanpa memedulikan pemakai jalan lainnya. Sama seperti kehidupan nyata kita.

Ya, kita hidup berdampingan dengan banyak orang. Tak bisa seenaknya memakai dunia ini untuk kepentingan diri kita sendiri. Apa pun yang kita lakukan akan mempengaruhi hajat hidup orang lain. Kecuali kita hidup di tengah hutan sendirian, maka kita harus berbagi hidup dengan penghuni hutan, bukan manusia lagi.

Pranata sosial kita sudah diatur dari lingkup terkecil, keluarga. Keluar rumah, kembali kita diatur oleh tingkatan RT RW dan seterusnya. Kalau kita melangkah ke mall, sudah ada etika moral dan hukum yang mengikat kita, agar tidak seenaknya mengambil jatah orang lain. Kalau kita melangkah ke pasar, ada preman di sana, ya itu sebenernya ngga baik tapi lihatlah ada aturan tak kasat mata yang juga berlaku. Mengikuti aturan itu bukan berarti pasrah dan menerima mentah-mentah. Carilah dulu apa sih penyebabnya muncul aturan ini itu, dan lihatlah implementasinya pada hidupmu. Kita bukan hidup dalam tempurung. Lihat, dengar dan rasakan.

Kita tak ingin diikat, terbelenggu beragam aturan. Tapi itu mutlak ada dan tak bisa dipungkiri keberadaannya apalagi saat kita mendapat mata pencaharian di dalam aturan yang mengikat itu.

Bertingkah seenaknya itu tak menolong, kecuali kamu mau mendapat catatan: “Emangnya ini perusahaannya mbahmu!?”

3 Comments

  • aku sering nih 🙂

    apalagi pas lagi mancal sepeda, pada gak mau ngalah, pengguna sepeda pancal di jalan raya itu menderita seperti seorang anak tiri yang di pilem-pilem itu tuh

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *