Tradisi Bermotor Yang Hilang

Saya belajar motoran sejak duduk di bangku SMP. Saat itu jalanan masih sepiiiii, sesepi-sepinya jalan sampai yang namanya begal jalanan masih banyak. Apalagi saya tinggal di pelosok desa di sudut kota Malang. Dua puluhan tahun kemudian, jumlah motor rasanya sudah sebanding dengan jumlah penduduk kota Malang. Dalam arti, di setiap rumah ada satu sepeda motor bahkan dua dan lebih.

Akibatnya? Jumlah pengguna jalan semakin mengarah tidak sebanding dengan jalan eksisting yang tidak dilebarkan pula selama beberapa waktu ini.

Akibat lain yang terasa menurut saya adalah jumlah motor yang lebih banyak menjadikan mereka raja jalanan, yang menghilangkan tepo seliro di jalanan, membuat mereka semena-mena terhadap pengguna jalan lainnya. Saya pengguna motor, saya sedih melihat kondisi itu di sekitar saya.

Dulu, sebelum belok kiri atau belok kanan, kita rasanya bisa tertib di belakang garis putih, menunggu kendaraan lain lewat. Sekarang boro-boro ngeliat kendaraan lain, BELOK KIRI JALAN TERUS ya JALAN TERUS AJA peduli amat ada bis ada truk kenceng di jalan yang berlawanan. Dulu kalau kita merasa pengen jalan santai menikmati perjalanan, melipir di kiri jalan itu sudah biasa. Sekarang boro-boro mikir jalan pelan, KALO GW MAU PELAN ya PELAN AJA, PEDULI AMAT KENDARAAN DI BELAKANG KEHAMBAT. Dulu saat komunikasi masih bisa lewat telpon umum dan telpon rumah, jalanan rasanya aman dari orang meleng, paling ngeliatin cewek aja baru meleng. Sekarang jalanan dikira jalan miliknya sendiri, NAEK MOTOR DISAMBI MAINAN HP, smsan, bbman sampe teleponan.

Daftar dosa pengguna motor itu demikian banyaknya. Walau pengguna mobil dan kendaraan lebih besar juga memiliki prosentase kesalahan yang sama di jalanan, tapi lihatlah dengan fenomena air yang dianut pengguna motor. Bisa ngga bisa, di mana ada celah di situ motor harus bisa lewat. Walau ujung-ujungnya akan macet juga karena jumlah motor jauuuuh lebih banyak.

Sungguh saya sampe ngga ngerti di mana yang harus diubah dengan situasi yang semakin buruk. Yang saya bisa hanya menghimbau diri sendiri agar tidak melakukan kebodohan yang sama. Mengingatkan pacar kalau lagi pergi bareng. Ingatkan teman kalau lagi nebeng. Lelah sudah kampanye GBLK yang tak kunjung memberikan hasil signifikan, justru semakin banyak yang GOBLOK-GOBLOKnya dipelihara di jalan.

Kemana ya motoris-motoris yang dulu itu? Apakah mereka semakin tua dan tak lagi mampu berkompetisi di jalan? Saya merindukan amannya berkendara di jalanan walau hanya rumah ke kantor. Tak perlu lagi antar kota antar propinsi seperti jaman muda dulu.

Ya saya kehilangan mereka.

 

 

 

4 Comments

  • Sayangnya ini masalah yg harus dilihat secara besar, kampanye safety riding R2 di Surabaya pun hanya berimbas sebatas peraturan helm SNI dan menyalakan lampu pd siang hari, sedangkan mudahnya mendapat SIM serta “DP 500rb motor bawa pulang” tidak disinggung, mungkin krn kampanye tsb disponsori oleh produsen motor barangkali… sikap oportunis di jalan sepengamatanku mungkin karena didikan keluarga dan lingkungannya, dan kadang saya lebih mudah menanggapi hal ini dgn cara rasis, maap.

    • ya, kondisi DP murah itu juga berpengaruh, maaf lupa menyebutkan di dalam tulisan. semakin mudah mendapatkan semakin tidak ada rasa memiliki. motor saya masih ngutang mungkin sehingga saya ngga gedabrukan lagi di jalan.

      itu berpengaruh banget dgn kondisi psikologis. pasti.

  • yang penting kita bersikap dan mengajarkan safety di jalanan…pakai helm SNI, jaket, sarung tangan, sepatu, penutup muka,kacamata, tas, koper, box, *lhah ini mau ke warung depan aja koq*

    *manasin ninja*

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *